Tradisi Maturan Kelaci di Desa Tambakan, Pantang Gunakan Sapi Cacat
BULELENG (CAHAYAMASNEWS). Desa Tambakan Kecamatan Kubutambahan Kabuapten Buleleng memiliki tradisi yang bisa dibilang unik di Bali Utara dan tak ada duanya di Bumi Panji Sakti. Tak hanya unik lantaran tradisi budaya yang dimiliki, untuk menjangkau desa ini pun harus melewati sejumlah desa di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, sehingga untuk menuju desa tersebut dari kota Singaraja mesti memakan waktu cukup lama. Jika di desa lain, binatang sapi diharamkan bila masuk tempat suci atau Pura dalam sebutan masyarakat Bali. Akan tetapi bagi para prajuru atau krama adat di Desa Tambakan, bagi warga yang akan melangsungkan upacara ritual berupa “Maturan Kelaci” justru membawa sapi ke dalam pura desa,.
Dengan tradisi semacam ini, masyarakat Desa Tambakan akhirnya mengkeramatkan binatang sapi, bahkan menurut mantan Kepala Desa Tambakan Made Surama, pada lokasi di dekat Kantor Kepala Desa dibangun sepasang patung sapi, sebagai pertanda bahwa masyarakat setempat sangat menghormati binatang sapi. Aturan Kelaci yang hanya ada di desa Tambakan Kabupaten Buleleng Bali, termasuk unik dan sacral. Ritual ini digelar terhadap warga luar desa Tambakan yang meminang perempuan di desa setempat, dan upacara ini dilatar belakangi oleh minimnya kaum perempuan di desa Tambakan pada zaman dulu, sehingga untuk mengurangi kaum perempuan yang nikah ke luar desa Tambakan bagi yang neninangnya haarus menghaturkan upacara dengan Maturan Kelaci yang menggunakan sapi sebagai salah satu sarana upakara.
Jro Mangku Istri yang sempat dijumpai di Pura Desa ketika ada warga yang maturan kelaci mengatakan, upacara ini wajib digelar kapan saja. Bahkan ketika orang sudah meninggal dunia pun bisa dibayar, hanya saja keluarganya harus membawa adegan yang merupakan symbol dari orang yang dibuatkan upacara. Terhadap orang yang sama sekali tidak menjalankan kewajibannya semasa hidupnya, sampai ia meninggal dunia, maka salah satu keluarganya akan kesakitan dan tidak pernah merasa tetang selamanya. Ketut Supartini kelahiran Desa Tambakan yang ditemui Tim Cahayamasnews, mengaku setelah menjalani pernikahan lebih dari 15 tahun, baru bisa melaksanakan kewajiban yang harus dijalaninya.
Selaku penglingsir keluarga, Cening Murdita yang sempat menyaksikan warganya ketika melangsungkan upacara maturan kelaci menilai, tradisi semacam ini harus dijaga kelestariannya dan warga yang memiliki kewajiban dalam hubungan itu, mesti patuh dan tidak bisa menghindar dari kewajiban tersebut. Dalam prosesi upacara Maturan Kelaci, sapi yang digunakan sebagai sarana upacara diarak mengelilingi areal pura, diikuti anggota keluarga dengan dipandu seorang Jro Mangku di Pura setempat. Pebaktian tidak hanya dilakukan di mandala utama atau jeroan, namun juga dilaksanakan di jaba tengah pada sebuah tempat yang telah ditentukan. Mengingat sedemikian rupa peradaban yang dimiliki Desa Tambakan, maka keyakinan itu sampai sekarang masih dipelihara dan dipatuhi oleh setiap warga yang mempersunting istri dari Desa Tambakan. *** Cahayamasnews.com-(DEMAL).
Facebook Comments