January 14, 2025
Bali

Takut  Kekuatan Niskala, Sekaa Gong Angklung Istri Gunung Sari Pantang Mundur Tanpa Sebab

Buleleng (Caahayanews). Di  Bali, kepercayaan masyarakat terhadap “Gong Duwe” masih terus melekat bahan ada kayakinan yang sulit dipungkiri bahwa untuk memainkan Gong Duwe tersebut harus nuur atau secara sekala minta ijin khusus kepada yang punya. Ini wajar karena keberadaan Gong Duwe dalam membuatannya ada kalanya dimohonkan kepada sebuah kekuatan gaib sehingga gong dimaksud menjadi sakral. Seperti Gong Angklung yang namanya melekat dengan nama Pura Gunung Sari, keberadaannya memang erat dengan unsur gaib yang dimiliki pura tersebut yang berdiri di kawasan Pura Batu Bolong, arah Tenggara Desa Sawan. Dihubungkan dengan aspek historis, cikal bakal atau lokasi awal mula Desa Sawan justru berada di Pura Gunung Raung yang masih dalam  kawasan Pura Batu Bolong.

Dengan tiga kekuatan pada tempat suci itulah, logis kiranya apa yang menjadi milik Ida Bhatara setempat tidak bisa disepelekan. Malahan perangkat gamelan yang kini berjumlah tiga barung termasuk yang dibeli terakhir di tahun 2015, tetap memiliki kekuatan tersendiri, sampai-sampai tidak ada seorang pun yang mampu menirukan suara Gong Duwe tersebut. Padahal, dari kalangan tertentu pernah merekam suara gong Pura Gunung Sari dengan tujuan ditiru, namun semua itu tetap menemui kegagalan.

Demikian pula halnya terhadap Sekaa gong yang kerap memainkan perangkat gong dimaksud. Seperti dijelaskan Ketua Sekaa Gong Angklung Istri Mulya Jaya Pura Gunung Sari Desa Sawan, Kecamatan Sawan, Buleleng, Luh Arumini, memang merasakan kuat aura yang dimiliki gong Pura Gunung Sari. Orang yang tidak memiliki jiwa seni pun, begitu masuk dalam barisan sekaa gong yang dipimpinnya, tanpa banyak belajar ternyata sudah bisa menabuh. Selaku krama yang juga menyungsung Pura Gunung Sari, Luh Arumini yakin betul bahwa apa yang terjadi selama ini merupakan kekuatan Ida Bhatara yang selalu mengayomi. Walau berdiri sekitar 5 tahun lalu, akan tetapi Sekaa Gong yang beranggotakan 25 orang tersebut sudah pentas ke beberapa kabupaten di Bali dengan mengandalkan tabuh yang mereka miliki.

Soal tabuh yang dipelajari, jumlahnya sudah cukup banyak dan di dalam belajar tabuh, kerap memanfaatkan Luh Ratmini yang kebetulaan selaku Bendahara juga piawai melatih teman-temannya di sekaa gong istri. Menurut pengakuan Luh Ratmini, dalam menciptakan tabuh, tak selamanya mudah karena terbentur kemampuan sekaa yang belum merata. Sebut saja untuk memainkan barangan, itu menang terbilang langka dan cukup sulit memadukan dengan perangkat gamelan yang lain, sehingga dirinya sendiri kerap merangkap untuk memainkan barangan. Kendati ada kesulitan di bidang itu, bukan berarti patah semangat, malah  belajar tabuh yang dirasa mudah, sehingga setiap ada yang memanfaatkan Gong Angklung tersebut selalu tampil dengan garapan baru.

Caption ; Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana bersama jajaran selalu menyempatkan hadir menyaksikan setiap pertunjukan seni masyarakat.

Didalam menampilkan diri ucap Luh Ratmini, selalu melihat situasi yang nuur atau mengundang. Bila untuk kepentingan upacara atau ritual keagamaan dan atau untuk berduka, maka para sekaa gong harus tampil polos. Namun bila tampil untuk orang kawin atau tiga bulanan ataukah yang nuansanya bersenang senang, Sekaa Gong Angklung Istri Mulya Jaya Pura Gunung Sari dibawah kendali Ruh Arumini, pasti akan menampilkan tabuh dan tari dengan pertunjukan “Joged Bali” sekalipun. Dalam kaitan ini, pemilik acara atau yang mengundang ikut tampil menari dengan memperlihatkan tarian ngibing.

Soal tarif yang dipasang oleh Sekaa, sangat tergantung dari siapa yang nuur, dalam arti jika yang menggunakannya merupakan anggota sekaa, itu sifatnya suka rela. Bisa-bisa  antara Rp. 200.000,- hingga Rp. 300.000,- untuk sekali tampil karena ada istilah ngedeng gong. Akan tetapi, jika diupah oleh orang lain, tentu akan berbeda, apalagi ke luar kabupaten, kiranya akan disesuaikan dengan jarak tempat dan kebutuhan crew.

Dengan kondisi Gong yang tampak sakral, ucap Luh Arumini ia harus hati-hati untuk membawanya ke luar daerah. Apalagi bagi anggota sekaa, mereka tidak berani sembarangan untuk berhenti atau istilah Balinya “Mepamit” tanpa sebab. Karena seperti pengalaman yang pernah terjadi di lingkungan sekaa,  orang bisa sakit dan setelah ngaturang guru piduka atau minta maaf kepada Ida Bhatara, maka barulah sembuh. Dengan demikian para sekaan gong istri merasa takut untuk melakoni apa yang semestinya mereka perbuat selama menjadi anggota sekaa gong istri. Itu semata-mata takut terhadap dampak yang timbul jika berhenti masuk sekaa gong istri. *** Cahayamasnews.com (DEMAL)

Facebook Comments

error: Content is protected !!