“AURA KASIH”
“Pengetahuan Suci Menjiwai Setiap Prilaku”
Oleh: I Ketut Murdana (Senin, 04 Nopember 2024).
Walaupun pengetahuan itu, tak mudah dijangkau, tetapi bila telah direfleksikan, menjadi realitas dipercaya sebagai “kebenaran”. Pada sisi yang lain tak mudah pula untuk meresapi, memaknai lalu ikut melaksanakan. Oleh karena itulah nilai-nilai kebenaran yang meresapi pengetahuan menjadi misteri, apabila hati nurani dan pikiran serta indriya-indriya tak terhubung atau tak ada upaya “menghubungkan”. Menghubungkan subyek pribadi dan obyek pengetahuan adalah belajar. Menghormati anugrah pengetahuan adalah bhakti, sebagai wujud kesadaran memuliakan anugrah-Nya.
Persoalan ini masih banyak terjadi dikalangan para insan, karena persoalan belajar memahami, memaknai dan melaksanakan merupakan proses kerja yang tidak ringan. Dirundung oleh “aneka wujud kemalasan yang penuh alasan”, yang digoda oleh kekuatan asura untuk menghancurkan. Walaupun dasar-dasar “penetapan” proses belajar tentang kehidupan itu telah digariskan oleh Para Suci Leluhur menjadi: pasa-pasa belajar, pasa berumah tangga, pasa penguatan pengetahuan spiritual dan pasa pembebasan dari ikatan duniawi menuju pencapaian penyerahan diri sepenuhnya.
Sebagai insan yang hidup dibelantara rimba duniawi, amat memerlukan pemahaman dan pemaknaan serta perlahan melaksanakannya. Akibat keterbatasan upaya belajar untuk memahami, maka ritual simbolik menjadi metode edukasi, penyampaian makna dan tujuan. Walaupun masih amat terbatas jabaran nilainya, berhadapan dengan multi tafsir. Oleh karena itu masih banyak yang patut digali esensinya, lalu diterjemahk dan dicerahkan kembali, hingga mencapai penguatan nilai-nilai esensial yang meyakinkan. Lalu berkembang menjadi ketetapan konfensional, meriah indah mempesona, tetapi syarat pemahaman nilai-nilainya.
Pasa tahapan proses kehidupan menuju kesejatian diri ini, sesungguhnya menjadi prilaku yang benar-benar, ketika sadar dan panut kepada Leluhur.
Persoalan yang dihadapi bagi sebagian besar insan-insan duniawi ini, lebih membiarkan diri larut dalam suasana naturalistik. Akibatnya pengetahuan suci lebih dominan dimaknai sebagai ilmu, pembahasan di dunia teks, hingga berbuih-buih di ruang perdebatan, lalu menjadi profesi b bahkan profesionalisme menetapkan standar upah, berinteraksi dan saling pengaruhi diantara infra struktur dan profesi lainnya. Akibatnya selalu terjadi masalah dan menyisakan masalah di ruang kesadaran dan penyadaran diri. Itu artinya eksistensi telah berubah dari upaya belajar bersama-sama menjadi linier dan istan. Akibat proses edukasi sebagai jnana yadnya lebih ditempatkan sebagai kewajiban instan berpaket, walaupun absen keikut sertaan personalnya, karena terikat jarak,waktu dan ikatan kerjanya.
Persoalannya adalah komunikasi, intensif dan penyadaran di ruang sosial, adat istiadat dan ruang formal yang menuntut profesionalisme.
Dalam konteks interaksi inipula belajar yang konteksual, berhadapan langsung dengan masalah. Apabila bekal edukasinya belum cukup, maka kualitas pemecahan masalahnya juga terbatas. Dalam kondisi seperti ini masalah kecil seringkali menjadi konflik yang mesti terjadi. Oleh karena itu betapa pentingnya belajar mengetahui dan memahami pengetahuan material dan spiritual, sebagai modal (Kemulan), menjadi pemimpin, dalam beradaptasi, berkompetisi sehat, agar tercipta kenyamanan di segala ranah.
Persoalan besar inilah yang sedang dihadapi bangsa kita yang sedang berkembang ini. Kecerdasan spiritual yang merefleksikan sikap mental rohani, terkurung oleh pengkondisian politik pupularitas, berbasis material uang, ya tentu juga untuk menumpuk uang pula.
Kecerdasan yang dimiliki oleh sebagian besar bangsa, lalu menjadi pemimpin, wakil rakyat dan sejenisnya, bukan atas dasar melaksanakan kewajibannya dengan baik untuk negara dan bangsa, tetapi berebut ingin menduduki kursi yang dipandang empuk dan menjanjikan. Pandangan empuk ini justru merongrong pembangunan bangsa, hanya memperkaya diri, bukan untuk melayani kewajiban yang melekat dalam kedudukan itu. Realitas ini telah berkembang meraja lela, hingga apreori abstrakpun tak terhindarkan. Oleh karena itu pemimpin adalah Guru Wisesa yang mesti mengayomi, segala penderitaan rakyat, hingga apreori terhapus menjadi kepercayaan yang menggaerahkan semangat membangun. Itu artinya politik yang berkekuatan idealisme, mewujudkan masyarakay adil dan makmur
Akibatnya ketika ada pemimpin yang jujur, terkena imbas apreori suryak siu, mengklaster bahwa setiap pemimpin korup dan jelek, melahir budaya nyinyir dan buli-bulian. Kesuraman energi suci melihat dan memahami inilah mengacaukan atmosfir pembangunan bangsa kita ini.
Realitas ini mesti kembali kepada persoalan dasar, ketika pembangunan selera duniawinya dimanjakan, maka amat sulit terpuaskan. Oleh karena itu betapa pentingnya pembangunan karakter secara lebih sungguh, terkondisi dari hulu ke hilir. Karena orang-orang cerdas berpangkat tinggi adalah di hulu. Kerusakan di hulu inilah yang saling menutupi, akibatnya rakyat tak terayomi. Kondisi ini terus terjadi, tetapi sebagai insan kecil tetap berdoa kepada Yang Maha Adil agar para pemimpin selalu dijernihkan hati nuraninya agar tidak menggerogoti pembangunan untuk kemajuan bangsa ini. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments