“AURA KASIH”
“PENGETAHUAN YANG DIJIWAI ASURA”
Oleh: I Ketut Murdana (Rebo, 06 November 2024).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Ketika sifat asura telah menjiwai pengetahuan, maka terjadilah orang-orang cerdas berwatak “penghancur” kebajikan. Apapun wujud kebajikan yang dikerjakan orang lain pasti dinyinyiri, dibuli dan diremehkan, hingga bisa menghancurkan kepercayaan diri pelaku kebajikan. Karena memang kodratnya seperti itu, tugas dan hakekatnya tercipta di bumi. Untuk menertibkab kodrat itu diberkati pula oleh Yang Maha Kuasa Guru Asura, bernama Sukra Acarya, untuk membina dan menuntun, agar memahami batas-batas kerja kewajibannya di bumi.
Realitas kekuatannya kini amat besar menguasai dunia. Dunia itu artinya dunia kehidupan manusia, yang diresapi dan dikuasai sepenuhnya oleh sifat-sifat asura. Putaran Kalpa membuka kecemerlangan kekuasaannya di bumi. Karena cemerlang mereka berteriak-teriak atas kejayaannya, karena telah menundukkan sifat-sifa dewata dalam diri sebagian besar insan di bumi. Dibalik semuanya itu, kekuatan dewata nan Ilahi pun hadir tanpa disadari, membangkitkan dan menguatkan sifat-sifat dharma, bergerak amat rahasia menembus kegelapannya. Oleh karena itu, insan diniawi berhadapan dengan dua pilihan besar, larut di dalamnya atau mengendalikan diri menembus kegelapannya atas tuntunan-Nya. Dalam kontek ini kecerdasan spiritual menimbang, memilih dan meyakini berkarma baik menuju tujuan hidup sejati.
Amat sulit menyadari realitas psikologis ini, karena “penghancuran” juga dimaknai sebagai “kebenaran”. Karena di dalam sifat kesemestaan-Nya terjadi “peleburan” yang “menyempurnakan” merupakan jalan yang berpengetahuan suci. Penghancuran adalah merusak lalu memenjarakan dalam neraka gelap. Akibatnya menghancurkan rasa malu dan kosopan santunan tata krama, dikubur dalam-dalam.
Teriak-teriak kebenaran memaksakan kehendak, mengatas namakan orang-orang suci yang telah dimuliakan dunia. Format “atas nama” ini, dijadikan benteng pelindung untuk mendogmatisasi, bertengger mengeruk keuntungan memperkaya diri berdalih-dalih membela rakyat kecil. Kekuatannya berteriak keras, memformulasi diri, seperti di atas segalanya. Berada dalam negara tetapi ingin menguasai negara. Reaksinya terus menerus mencaci maki pemimpin bangsa dan juga pemimpin agama. Menghancurkan etika moralitas insan-insan, yang “belum berpengetahuan”
Entah apa yang “ada” dibalik kekuatan itu, hingga pembiaran terus berlanjut. Walaupun teriakan rakyat akibat ketidak nyamanan sosial terus bergulir. Sampai kapan pembiaran seperti akan berakhir melalui tindakan hukum yang tegas oleh aparat penegak hukum, tentu semua itu adalah kewengan para penegak hukum mencapai keadilan.
Kapankah bangsa ini bangkit, semangat serta nyaman berkreasi di segala lini untuk bersaing positif mewujudkan prestasi unggul, serta bisa berkompetisi dengan bangsa lain ?. Jawabannya barangkali, harus kembali pada perjuangan yang gigih dan doa yang tulus.
Realitas ini mengingatkan kita kembali pada kisah Mahabharata, saat Dewi Drupadi ditelanjangi di depan persidangan oleh Durshasana atas perintah Duryodhana. Semua itu diakibatkan terbius napsu judi, rekayasa Sangkhuni yang mampu membuat Yudhistira lupa diri. Saat itu Dewi Drupadi memohon bantuan kepada Raja, Para Guru Penasehat Kerajaan, Bisma, Perdana Menteri dan lain-lainnya, tetapi hanya diam seribu bahasa. Apa arti sumpah Bisma saat menetapkan diri membujang dan akan selalu melindungi Kerajaan Astina Pura.
Serangan itu barangkali hanya dimaknai secara jasmaniah sebagai musuh yang datang dari luar, sebagai musuh kerajaan besar lainnya. Ternyata serangan itu datang dari dalam diri, sebagai sifat-sifat asura yang datang terpelihara dari dalam diri anak-anak dan cucu-cucu keturunannya sendiri. Barangkali karena hal itu, bhagawan Wyasa menggambarkan, kekuatan, kecerdasan dan kesucian tak berkutik tunduk kuasa formal duniawi. Mengakibatkan tugas-tugas perlindungan kebajikan diam seribu bahasa.
Tetapi Dewi Drupadi diselamatkan oleh doanya sendiri kepada Sri Krishna, saat busananya sedang dibuka ingin ditelanjangi, selalu menyebut Sri Krshna, akhirnya dengan kekuatan yoga maya-Nya, Dewi Drupadi selamat dari rasa malu kewanitaannya. Semuanya itu sebagai janji Sri Krishna ketika telunjuknya terluka saat memutar Cakra Sudarsana membunuh Sisupala yang menghinanya kelewat batas.
Nampaknya Sisupala telah lahir kembali, sebagai pembuli-pembuli dan penghina kelewat batas terhadap pemimpin bangsa ini. Beranjak dari kisah Mahabharata itu, sebagai insa-insan duniawi yang merasa tidak nyaman, akibat tertindas napsu dan egoistik, hanya bisa berdoa agar “kuasa keadilan yang mendamaikan” pada saatnya hadir mensejahterakan dunia. Oleh karena itu jadilah insan-insan yang menteladani Dewi Drupadi, yang selalu teguh berdoa dan berbuat baik, hingga saatnya menjadi besar dan kuat untuk mengayomi dunia. Bukan hanya syarat memohon lalu melupakan perbuatan suci kebajikan.
Walaupun realitas kini, dikaburkan oleh doa-doa berpreming dogma surgawi dan neraka, menjebak alur narasi kecerdasan rohani, membutakan diri terhadap kesadaran bertoleransi, serta kemajuan bangsa yang sesungguhnya. Sadar terhadap kerja asura di jaman ini, lalu bersadhana suci tertuntun, berjuang menembus segala lini pemburamannya, lalu mohon anugrah-Nya. Jalan terang pasti terbuka bagi yang benar melaksanakan dan “mengaburkan” bagi yang meragukan. Benturan dinamika inilah patut direnungi, guna merefleksikan dan memberdayakan kesadaran dalam pelayanan swadharma kebajikan. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments