“AURA KASIH”
“Kesombongan Merubah Berkat Menjadi Malapetaka”
Oleh: I Ketut Murdana (Rebo, 13 November 2024).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Ketika doa-doa permohonan melalui tapa brata kuat tak tergoyahkan, memuja Tuhan. Dilakukan dengan sungguh penuh keyakinan, berkat-Nya pasti terjadi dan terus mengalir. Karena itulah wujud kasih hukum kerja semesta yang maha adil. Lalu dimaknai menjadi hukam “Karma Pahala”, yaitu perbuatan menentukan hasil. Menyikapi dan memaknai kesungguhan bekerja dan mengikhlasnya dalam setiap pekerjaan adalah doa yang sungguh menyatu dengan prilaku. Demikian pula sebaliknya apapun yang dikerjakan “sekedar” saja tak sungguh sungguh hasilnya juga tak pernah memuaskan dan membahagiakan. Akibat merefleksikan sikap irihati, nyinyir terhadap keberhasilan orang lain, bahkan ingin menghacurkannya.
Dimensi kedua kutub inilah menentukan pahala. Pahala yang bermanfaat, bermakna menyempurnakan hidup mencapai kebahagiaan adalah berkat-Nya yang sejati. Artinya benar dapat dirasakan kebenarannha. Demikian sebaliknya berkat berubah menjadi malapetaka yang menyengsarakan, ketika salah arahnya. Artinya menggunakan berkat itu hanya untuk melayani napsu dan kesenangan yang tak terkendali. Bergerak kesana, kemari hanya untuk dipuaskan terus, melalui alur substansinya yang amat beragam. Bahkan melampaui eksistensi diri dan keberadaannya tercipta di bumi.
Demikianlah gambaran Raja Asura Rahwana dengan tapanya yang amat ketat hingga Dewa Brahma berkenan memberkati sesuai permohonannya, yaitu: tidak dikalahkan oleh raksasa, para dewa dan manusia. Melalui berkat itu menjadikan Rahwana semakin sombong, lalu sewenang-wenang menyalahi dan melampaui batas kuasa dari berkat itu sendiri, menyengsarakan rakyat.
Jeritan kesengsaraan rakyat yang tak tertahankan menjadi doa perlindungan, yang menghadirkan kuasa-Nya sebagai “penyelamat”. Sebagai Sang Penyelamat berwujud manusia biasa, memiliki “kekuatan dewata”. “Kuasa” kekuatan sakti ini didukung oleh kera, beruang dan lain-lain (binatang) berkekuatan dan berkesadaran manusia sejati. Karena kekuatan itu ada dan meresapi jiwa binatang itu, hingga Rahwana tidak pernah menyadari dan memahami rahasia Ilahi semua itu. Gambaran narasi cerita heroik ini, mengajarkan bahwa Tuhan “mengatasi segalanya”.
Rahwana dengan putra-putranya hanyalah melihat sebagai manusia dan kera biasa. Oleh karena itu rasa percaya diri dan kesombongannya semakin memuncak. Narasi cerita ini menggambarkan orang-orang yang dibutakan oleh kesombongannya. Kosombongan ini memnuat hati nurani yang suci dalam dirinya terkubur tak berdaya, hingga tak aga guru penuntun yang benar dalam kehidupannya. Akibatnya segala nasehat bijak dari adiknya Wibhisana, istrinya Dewi Mandodari, mertuanya bhagawan Wiswakarma dan lain-lain, tak pernah digubris, justru berbalik menuduh sebagai penghianat kaumnya. Akibatnya Wibhisana diusir, karena tidak ada tempat bagi penghianat di Kerajaan Alengka, demikian ketus Rahwana.
Ada sesuatu yang dapat dipetik bahwa; ketika sifat-sifat asura telah menguasai, maka “berkat akan menjadi kekuatan yang menghancurkan”. Sesaat nampak terlihat bisa menghancurkan Wibhisana, sesungguh dia menghancurkan dirinya sendiri. Kemurnian hati nurani Wibhisana diantarkan oleh kekàsaran Rahwana hingga bertemu dan dekat dengan jungjungannya, lalu bisa mengabdi Sri Rama menegakan dharma membunuh Rahwana.
Kesombongan adalah kebutaan spirit hati rohani, yang selalu merefleksikan kata-kata dan prilaku kasar, kotor menjijikkan. Walaupun akibat kecerdasannya, amat pintar membungkus dengan yadnya kemewahan material, “penuh harapan tersembunyi”. Demikian gambaran kisah Duryodhana menjamu Rsi Dhurwasa dengan murid-muridnya agar tidak dikutuk akibat kesalahannya. Oleh karena itu “persembahan berubah dari energi suci menjadi energi material”. Demikian pula persembahan punia material oleh tokoh-tokoh politik saat ini, bukan punia atas dasar tulus ikhlas, tetapi hanya “kuasa” memainkan peran untuk mendulang suara kemenangan, lalu hilang ditelan bumi ketika harapannya tak terpenuhi.
Pertanyaannya sejauhmana promosi benteng terakhir yang didengung-dengungkan oleh para politikus, yang sesungguhnya di masa lalu telah benar-benar menjadi benteng penyelamatan pertahan sikap mental keumatan dari rongrongan umat lain. Cukupkah hanya berkoar-koar di media sosial tanpa sadar bersama-sama memproteksi diri dengan sikap bersatu padu menghadapi serangan dari kuasa material yang telah menerobos ke segala lini?.
Persoalan inilah mesti dilihat dari dua persoalan besar, pertama penguatan jiwa-jiwa dan sikap toleransi dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua penguatan kesadaran berbudaya nan religius sebagai identitas yang dikagumi dunia. Persoalannya sudahkah peran itu hadir, atau sebaliknya, realitaslah dan perjuangan adalah jawabannya. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments