“AURA KASIH”
“KISAH MISTERI SEBUAH LUKISAN”
Oleh: I Ketut Murdana (Rebo, 27 Nopember 2024).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Pada suatu hari, Minggu pada tahun 1976, lupa bulannya, bertepatan dengan hari suci Kajeng Keliwon. Dipagi hari saat liburan sekolah aku diajak ikut membantu pekerjaan di sawah, oleh Gusti Pekak Tengah nama tuan rumahku, untuk membersihkan rumput-rumbut dan tumbuhan lainnya yang tumbuh berbarengan dengan tanaman padi di sawahnya. Pekerjaan itu di Bali disebut “mejukut”.
Saat itu aku tinggal numpang di Pondok Gusti Pekak Tengah tak membayar sewa rumah, alias gratis. Aku diperkenalkan kepada Gusti Pekak Tengah oleh Gusti Pekak Umung yang masih ada hubungan keluarga dekat, putra dari Gusti Nyoman Lempad pelukis tradisional yang sangat terkenal di dunia, di era Pita Maha dan juga seorang undagi kesayangan Puri Ubud.
Saat itu daerah sekitar Csmpuhan dan Sanggingan Ubud, masih sangat sepi, areal persawahan dan tegalan masih hijau. Para petani masih sibuk mengerjakan sawah ladangnya. Pengembala itik, sapi, menyabit rumput makanan ternak masih sangat akrab berseliweran. Para wanita masih biasa mandi di sungai dan selokan. Ibu-ibu dan gadis-gadis dari Desa Penestanan setiap pagi, memungut dan mengangkut batu pilah padas di Sungai Campuhan Ubud. Anak-anak muda, dewasa dan juga tua sebagian besar menekuni lukisan Gaya Young Artist yang dikembangkan bersama-sama Arie Smith. Turis-turis biasa jalan-jalan pagi dan juga lihat lukisan di art shop.
Pedagang sayur pakis (paku bahasa Bali) setiap pagi subuh dari Desa Kedewatan dan sekitarnya berjalan mengusung bakul sayuran pakis itu menuju pasar Ubud. Di malam hari amat sepi belum ada listrik, sepeda motor dan mobil amat jarang lewat di malam hari. Ada beberap Art Shop di pinggir jalan memajang lukisan yang di dominasi oleh lukisan Gaya Young Artist. Hotel Campuan satu-satunya hotel yang berlokasi bersebelahan dengan Pura Campuhan banyak dikunjungi orang-orang asing. Tetapi ada beberapa home Stay juga disekitarnya. Udara sejuk amat terasa saat itu
Sekitar lima ratus meter (500 m) ke utara, sebelah kiri jalan tempat sekolahku yaitu SSRI/SMSR Denpasar di Ubud. Di depan sekolah itu aku tinggal. Balai beratap alang-alang, berdinding tanah (bahasa Bali tembok popolan), berpintu anyaman bambu. Di bawah kolong atap digantung anyaman daun kelapa (kelangsah). Dua orang Putri- dari Gusti Pekak berjualan, ketipat santok, rujak, nasi, daluman, es campur dan lain-lainnya di depan sekolah. Setiap pagi aku bantu-bantu ngangkut dagangan dari pondok menuju warung, yang berjarak sekitar 60 meter. Bersama teman yang baik Wayan Meri Sudiarsa, Wayan Parsa dan Wayan Weca, sambil masak nasi di atas kompor.
Setelah itu lalu turun bersama-sama ke sungai mandi pagi, sambil membawa satu jerigen untuk mengambil air minum di tebing terjal sungai Wos Campuhan Ubud. Disekitar pancoran dipenuhi pohon pisang batu, buahnya menjadi camilan tambahan setiap hari. Singkat cerita sehabis membersihkan rumput bersama teman, disuguhkan makanan enak lengkap dengan lauk pauknya oleh tuan rumah. Sangat senang diberi makan, mengakibatkan jatah harian kos bisa diperpanjang. Sehabis bekerja lalu istirahat sebentar, kemudian melukis mengerjakan tugas-tugas sekolah dan juga lukisan untuk dijual ke art shop. Tak terasa hingga larut malam, teman-teman dan tuan rumah sudah pada sepi, saya masih tetap melukis. Inspirasi dan ide-ide sedang berproses terus. Salah satu ide saat itu bagaimana caranya membuat lukisan raksasa, agar bisa terlihat keluar dari bidang gambar. Terinspirasi dari lukisan Abdul Aziz, yang dapat dilihat di Museum Neka, berjarak sekitar satu kilometer dari tempat tinggal. Proses demi proses dicoba terus di atas kertas diterangi lampu sentir, akhirnya ide itu terwujud memuaskan.
Tak terasa ngantuk walaupun waktu sudah larut malam, suara ayam sudah berkeruyuk sahut menyahut. Karena aku tak punya jam tangan, barangkali sekitar jam 01.00. Lalu saya tidur di samping teman yang sudah pada ngorok duluan. Kurang lebih satu jam saya tertidur lelap, diatara sadar dan tidak sadar mataku melihat Rangda yang terlukis pada lukisanku yang dipajang disebelahnya. Rangda itu menari-nari dan terlihat keluar dari lukisan, sambil ketawa-ketawa. Saat itu saudara Weca berteriak lalu diikuti oleh Mery berteriak sontak, lalu bangun ketakutan. Akupun juga sontak bangun, ketakutan.
Keringat dinginku mengucur deras, lalu membangunkan Gusti Pekak dan Gusti Niyang. Ada apa itu Tut, ada apa itu Tut itu ucap Gusti Niyang. Lalu kami menyampaikan pengalaman yang terjadi. Lalu kami minta tolong, kemudian Gusti Niyang bersama Gusti Pekak membuat sesajen (canang dan segehan) lalu dipersembahkan di Merajannya, memohon air suci. Lalu kami bertiga disuruh sembahyang lalu diciprati air suci. Setelah itu perlahan perasaan kami bertiga tenang pulih kembali lalu bersama tidur lagi.
Lukisan raksasa di atas kertas biru itu, sampai sekarang masih tersimpan sebagai koleksi pribadi. Lukisan yang bertema Calonarang yang ada lukisan Rangde itu telah terjual dan sangat disenangi oleh pembelinya. Sejak saat itu, dalam dalam hati seringkali muncul “kata-kata”, yang saat itu aku sebut kata-kata mutiari, lalu ku tulis dan ditempel di dinding tembok tanah. Setiap membaca seolah-olah ada energi penyemangat belajarku
Setelah itu, sejak pertengahan tahun 1977, proses belajar berpindah ke SSRI/SMSR Denpasar. Saat itu aku mulai kos di jalan Parisuda, Abiankapas Kaja. Di sela-sela belajar aku juga tetap melukis untuk beaya studyku. Saat asik melukis di teras depan kamar ada orang agak tua yang tak ku kenal menyaksikan dan mendekati aku melukis. Tiba-tiba dia memintaku untuk membuka tangan. Lalu dia menyaksikan telapak tanganku, dan berpesan tentang ramalan masa depan hidupku. Tetapi aku hanya mengangguk tak sungguh memperdulikan ucapan orang itu.
Lalu dia pergi mengendarai vespa super warna putih sudah agak lusuh. Aku melanjutkan lagi melukis. Lukisan itu laku terjual cukup mahal ukuranku saat itu. Selanjutnya pada tahun 1992, aku bertempat tinggal di rumah kontrakan di jalan Ahmad Yani Denpasar Utara. Suatu saat aku melukis, kebetulan tema lukisan itu adalah Sri Krishna sedang menolong putra Abhimanyu, didalam kandungan istrinya yang dibunuh oleh Aswatama dengan senjata sakti Brahmastra berkat Dewa Indra.
Sedang asiknya melukis, tanpa ku sadari lukisan itu bergerak-gerak sendiri melalui tanganku. Lalu terdengar ada suara, “lukisan ini jangan di jual, taruh di kamar suci, dan jangan diselesaikan lagi”. Merasakan keadaan seperti itu, pikiran ku sedikit gundah, karena aku tak tahu kenapa terjadi seperti itu lalu bertanya-tanya, dalam hati siapa itu, tetapi jawabannya tak ada.
Lukisan itu lalu ku taruh saja, karena aku tak mengerti apa maksudnya. Lukisan itu sampai sekarang masih tersimpan. Ternyata setelah lima tahunan kisah itu menginspirasi dan menjelaskan kisah hidup ku sendiri. Selanjutnya banyak orang-orang yang memiliki kisah senada yang datang berdiskusi, memperoleh berkat petlindungan dari Yang Maha Kuasa. Lalu menyadari bahwa dibalik masalah tersembunyi misteri yang mengantarkan kita merasakan keberadaan-Nya.
Saat-saat seperti itu aku benar-benar merasakan bahwa selain Ibu dan Bapak kandung-ku ada Ibu dan bapak lain yang menyayangi-ku penuh cinta kasih, dengan caranya sendiri. Ternyata saat belajar berjuang mengejar cita-cita, aku memiliki dan disayangi banyak “Ibu” yang tak pernah ku duga sebelumnya. Selanjutnya perlahan-lahan aku menyadari berkat-Nya, lalu belajar memuja dan memuliakan kebesaran-Nya. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments