January 26, 2025
Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“KEBENARAN DAN  PEMBENARAN”

Oleh:  I Ketut Murdana (Senin, 09 Desember 2024).

 

MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Ketika berbicara kebenaran, medan dan variannya amatlah luas dan beragam. Oleh karena itu dilihat dari strukur esensinya, berorientasi pada dua arah; yang pertama kebenaran mutlak yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun, misalnya matahari selalu terbit setiap hari. Dalam kemutlakan ini ada “sebab” yang “menyebabkan”. Sebab inilah kemutlakan yang menyebabkan sesuatu itu ada. Artinya tercipta dari sebab yang mutlak itu. Dan yang kedua adalah kebenaran transformatif, dari “sebab” memasuki dan meresapi jiwa-jiwa serta pikiran-pikiran orang. Lalu menjadi aktifitas atau ciptaan yang berkembang di seluruh jagat raya. Menjadi kebudayaan yang beridentitas dan berkarakter, mencirikan ruangnya masing-masing yang disebut kebhinnekaan atau “wiswarupham”. Secara edukatif realitas kebenaran itu dapat menginspirasi membangun  kesadaran semesta

Dari sebab kemutlakan yang meresapi menjadilah kebenaran persepsi, yang mempribadi, Itu artinya persepsi-persepsi yang mempengaruhi kesimpulan. Menjadi pengalaman pribadi atau juga pendapat-pendapat. Oleh karena itu pendapat itu bisa unggul pada saat tertentu, lalu bisa ditumbangkan oleh pendapat yang lebih unggul berikutnya, demikian seterusnya.

Semuanya itu dipengaruhi oleh pengalaman empiris dan historik nan logis serta juga mistik tak terhindarkan. Akibatnya kebenaran itu berkembang dan berubah terus menerus. Inilah kebenaran kehidupan yang persepsionisme. Memasuki ruang terbatas, karena hakekatnya terbatas, dibatasi waktu, dan kondisi sosialnya. Dalam kontek inilah pendewasaan sebuah ideologi kebenaran semakin arif bijaksana mendamaikan.

Dalam rentang historik inilah pertautan bahkan persingungan identitas bahkan berlawanan dari aneka identitas kebenaran dan pola pikir serta arah memandangnya. Efek dan kontek dari dinamika ini menyebabkan ragam konflik, di ranah material, lalu meresap ke pengetahuan rohani, menyeleraskan mencapai harmoni. Demikian seterusnya datang dan pergi menjadi ciri dalam dinamika kehidupan. Dalam kontek inilah peran subyek pribadi-pribadi memilah dan memilih serta mampu menempatkan diri, apakah menciptakan konflik atau menyelaraskan konflik menjadi harmoni.

Saat ini pula karakteristik subyek pribadi menampakkan karakter identitasnya, apakah katakter manusia dewata atau manusia asura. Kecerdasan dan kedewasaan memahami dualitas nilai kehidupan ini, berimplikasi terhadap apresiasi karakter. Apakah seseorang berkedok kebenaran yang seolah-olah membela yang tertindas?. Lalu berkata-kata kasar dan menghina sekehendak hatinya. Ataukah memecah belah persatuan dan kesatuan lalu ingin menguasai ?.

Persoalannya adalah berhadapan dengan dimensi subyek dan obyek dari pada kebenaran itu. Demensi subyektif yang mempribadi meliputi pertumbuham ragam karakter manusia, yang ditentukan edukasi naturalistik alamiah, religiusitas, kontek sosial dan aneka jenjang edukasi formal terstruktur. Dalam kontek inipun berperan melahirkan insan manusia dewata maupun manusia berkarakter asura. Realitas karakter asura saat ini sedang menggelora menguasai atmosfir panggung duniawi bertopeng kebenaran.

Dimensi obyektif sesungguhnya lebih ditempatkan pada tujuan dan upaya “penyempurnaan” tujuan hidup di dunia jasmani dan di dunia rohani. Dalam kontek inilah kebenaran mutlak sebagai sumber atau penyebab dari segala yang ada disepakati dengan sebutan Tuhan, God, Allah, Sang Hyang Widhi dan lain sebagainya. Menghadirkan sifat-sifat mensejahterakan dan mendamaikan. Memahami kondisi religius ini menempatkan bahwa kebenaran duniawi mewilayahi medannya masing-masing menuju kemutlakan itu sendiri. Itu artinya sebabnya tunggal menyebabkan ragam dan tahapan atau jenjang kebenaran, karena ada dan terindrawi. Merefleksi dari reaksi subyek menuju obyek nan vital.

Karena tercipta dan terindrawi memasuki ruang terbatas, maka terikat oleh hukum Sang Waktu dalam proses penyempurnaannya. Keterbatasan itu dipahami melalui kelahiran, hidup dan berpulang kembali, demikian seterusnya disebut dalam teori reinkarnasi. Berkenaan dengan itu “kebenaran tranformatif” yang meresapi kehidupan menjadi “kebenaran persepsi” yang mempribadi, mengandung esensi kebenaran mutlak, bisa saja diikuti oleh banyak orang.

Lalu mengokohkan dan mempersepsi kebenaran jalan penyempurnaan menuju kebenaran mutlak. Ketika sudah demikian kebenaran itu sudah dijiwai oleh kesadaran murni mencapai sinar suci pencerahan, yang dicita-citakan oleh setiap insan yang dijiwai kebenaran pengetahuan suci-Nya. Saat itulah “pembenaran” yang tumbuh dan berkembang dari persepsi-persepsi lebur larut dalam kuasa kemutlakan-Nya. Itu artinya realitas gerak kosmologis yang menundukkan dan mengendalikan semuanya. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.

 

Facebook Comments

error: Content is protected !!