April 27, 2025
Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“MEMBISUKAN KATA BERJALAN TERUS MENEMBUS KABUT”

Oleh :  I Ketut Murdana (Jumat, 14 Maret 2025). MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Berkisah tentang pembenaran-pembenaran, saling tuduh, saling tuding ribut terus menguasai panggung, karena “dipanggungkan”, memviralkan momennya.  Ada yang berbicara layak berdasarkan “data”, ada yang penuh ilusif imajinatif, bertopeng filsafati. Berlagak “Pencerah”, lalu menggurui orang lain yang tak memerlukannya. Akibatnya mengaburkan tujuan filsafati yang mencintai kebijaksanaan  yang selalu mendambakan kedamaian. Selanjutnya ada pula yang sibuk  berasumsi dengan tudingan buruknya. Barangkali akibat di dalamnya busuk, menebar bau busuk yang menyengat. Semua itu menjadi kabut yang menutup menghalangi matahari menerangi bumi. Tentu amat bertentengan dengan etika moral dan kesantunan yang menjadi ciri karakter normatif ketimuran. Bukan berdaulat pada “kebenaran” tetapi tunduk di tangan Sangkhuni.

Gemuruh informasi ini menjadi konsumsi yang menyerap perhatian, ada yang menarik, sekaligus menjenuhkan karena seringkali membingungkan, dengan kebohongan yang memburamkan denyut nadi kebenaran. Tetapi di balik itu semua, barangkali alam semesta memainkan lilanya, yang amat sulit dibayangkan melalui media sosial yang digandrungi untuk mencerdaskan insan-insan yang sadar dan “korektif menyimak” agar tak tertelan kabut gelap dan bau busuk ketidaksadaran, untuk membangkitkan kemurnian, menjadi insan-insan cerdas sosial yang bermartabat.

Karena semua berdimensi viral, lalu rujukan aneh-aneh, vulgarisme, erotic dan menegangkan. Akibatnya ruang dialog kebijaksanaan yang meneduhkan dan mencerahkan amat rendah dan luput perhatian. Kondisi ini mengisyaratkan lemah dan terabaikannya  energi suci yang sesungguhnya mencerahkan keimanan.

Dapatkah berbicara keimanan dalam riuh atmosfir gelap yang dirajai suasana politik perebutan kekuasaan seperti sekarang ini?, yang berciri kecerdasan Sangkhuni. Menang dan menguasai orang lain, menjadi ciri perjuangan yang dianggap kebenaran. Membiarkan kesejahteraan masyarakat sebagai semboyan dan sangat meriah saat kampanye. Walaupun dibalik kebenaran itu banyak insan-insan sadar peduli pada bangsa dan negera tak bermain di dunia politik. Berjuang terus melakukan kewajiban yang dimaknai sebagai  swadharma atas pelayanan kepada-Nya. Semuanya itu menjadi jalan untuk belajar memahami diri yang sesungguhnya. Tak bergelimbang uang untuk sewa kursi yang amat mahal. Oleh karena itu mereka merantau kedalam diri memperbaiki “kursinya sendiri”, agar nyaman ditempati oleh “tamu” yang hadir singgah padanya.

Walaupun geraknya terseok-seok, tetapi terus bergerak dan berjalan  meyakini nilai-nilai kebenaran yang meresapinya. Mereka terdiam membisukan kata,  meramaikan semangat laku kewajiban sebagai puja bhakti melalui pelayanan kepada insan yang memerlukannya. Walaupun setumpuk kecurigaan, cibiran dan intervensi, menjadi penguat keyakinan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam diri yang “amat sulit dikomunikasikan” sebelum terbukti kebenarannya.  Demikianlah gambaran Sangkhuni yang selalu mencurigai dan berupaya melawan Widura dengan panah-panah dadu kelicikannya. Karena dia tak pernah memperoleh senjata dewata sakti.

Realitas kerja yang bersemangat itu, bukan sekedar kata pemanis penghias bibir sesaat (life steak) saja. Hanya siap menjalankan ketika ada harapan atau tebusan “suara” dibalik semua itu. Bisa juga menunggangi gelontoranjj alur energi yang sesungguhnya menjadi hak rakyat. Ketika “sentuhan” energi suci kejiwaan yang menyadarkan, lalu meresapi, maka “karma jnana” berjalan terus menjadi semangat yang terus menerus mewujudkan kewajiban yang membahagiakan.

Tak mudah memang memperoleh “kebenaran Ilahi” itu, karena belum atau tak sungguh bertanya kepada diri sendiri dan berjuang untuk memperolehnya. Bukankah seperti itu Sri Krishna mencerahkan dan menyadarkan Arjuna agar bebes dari keragu-raguan melaksanakan kewajibannya sebagai kesatria siap berperang melawan ketidak adilan. Bukan hanya sibuk berganti kulit dan mementerengkan warna warni, tetapi tak mengubah jiwa asuranya, ya karena memang asura. Fenomena ini menggelora menjadi gaya hidup (life styale), meriah promosi membungkus rapi tipu-tipu. Bangga dengan keberhasilan tipu-tibu melupakan hukum kerja karma semesta yang selalu adil kepada semua ciptaan-Nya. Gelora gerak maya dengan kesementaraannya ini memperoleh energi besar saat ini.

Mengangkat, menarik dan meluruskan kembali kebengkokan iman ini memang tak mudah. Oleh karena itu seringkali kerja semesta Yang Penuh Kasih melebur dengan cara-Nya sendiri. Karena kerja-Nya amat rahasia, maka amat sulit dipecahkan menjadikan orang-orang strees dan gila berkepanjangan. Semua materi luluh lantak dan kepincangan jiwapun berlarut. Ketika itulah renungan perlahan tumbuh menjadi inspirasi, intuisi mencari dan mempertimbangkan jalan keluar yang harus ditempuh. Tak cukup sampai disitu, ketika kelelahan berpikirpun sebelum menyirnakan ego, menyerah pasrah, maka jalan keluarpun gelap berduri menakutkan walaupun “ITU” (Tat) adalah “kebenaran”. Artinya jalan keluar tebuka mesti ditembus perjuangan panjang mencapai tangga-tangga kebenaran sejati.

Tak semuanya seperti itu, karena varian kerja karma, terangkat melalui kasih-Nya. Saat itu inspirasi dan intuisi lebur tanpa kata menemukan jawaban menjadi “rasa” yang membahagiakan. Lalu sadar perlahan mengubah prilaku menuju kesejatian. Demikianlah kebangkitan jiwa terus bergerak merindukan kasih-Nya. Menjadi prilaku, memurnikan pikiran  mebisukan kata, berproses perlahan pada jalan-Nya. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi

Facebook Comments

error: Content is protected !!