
“AURA KASIH”
“NYEPI” (Hening Mentransparansi Dalam Dialog Rohani)
Oleh : I Ketut Murdana (Rabu, 26 Maret 2025).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Sepi hening merupakan transparansi hati nurani dengan masalahnya. Hati nurani yang tenang, hening dan bersih merefleksi ke rasa, pikiran dan indriya-indriya, mampu melihat serta dapat merasakan “sesuatu” yang dapat memilah-milah lalu menyadarkan pilihan. Pilihan yang dijiwai kesadaran diri ini menjadi karma atau prilaku kebajikan. Artinya prilaku kebajikan yang telah tumbuh, bangkit menembus kegelapan bhuta yang menjadi kebodohan. Kebutaan yang membodohkan itu muncul dari ketidak sadaran. Kesadaran yang meresapi ketidaksadaran yang disebut jalan “kebebasan mencapai pembebasan”.
Jalan kebebasan juga disebut jalan para widya menembus awidya. Karena menembus, mesti ada ketajaman pengetahuan dan sikap prilaku yang heroik kesatria jnana. Maksudnya adalah pengetahuan yang tajam adalah senjatanya, sikap prilaku adalah energi penggeraknya, hingga paduannya menjadi strategi hingga pada saatnya menjadi wiweka jnana yang bijaksana.
Mengkondisikan agar pengetahuan itu semakin tajam dan terus tajam adalah mengasah dengan energi prilaku yang sadar dan yakin terhadap tujuan hidup sesungguhnya. Membuka diri melalui pintu indriya-indriya, terseleksi iman kebajikan menjadi energi pembangkit terbukanya wawasan. Bagaikan api bisa menyala karena ada sumbu, dalam wadah yang berisi minyak. Karena api menyala, apabila tak diisi minyak maka api akan mati. Nyala api yang semakin besar dan menebar dimana-mana mampu menerangi kegelapan dan energi panasnya meresap. Demikian pula keyakinan akan semakin cerah ketika terus diasah dengan sadhana-sadhana suci yang tertuntun, melalui kuasa-Nya yang mengejawantah, walaupun terkadang “amat rahasia”. Tetapi terbuka mengalir bagi insan-insan yang mendambakan. Walaupun mengalir tetapi sulit juga meresap, akibat belum tercipta kesungguhan personalnya. Saat itulah pengetahuan yang berenergi suci dirasakan kebenarannya, melewati pilihannya sendiri.
Persoalan besar menyalakan semangat dalam diri inilah perjuangan diri yang sesungguh. Karena ada dan berkobar dan redup ada dalam diri sendiri. Saat itu jawaban membesarkan semangat, menumbuhkan jiwa dan membesarkannya, menjadi perjuangan panjang tiada henti. Akibat semuanya itulah anugrah, sebagai energi yang membesarkan, hingga akhirnya mampu menghadapi masalah-masalah besar. Seperti Rsi Walmiki menggambarkan Sri Hanoman seorang abdi sejati mampu mengangkat gunung.
Demikian juga Sri Krishna digambarkan mampu mengangkat gunung saat remaja, hingga menggetarkan hati pamannya Raja Kamsa, lalu bertanya siapa sesungguh si anak kecil itu?. Demikian pula Ibu Pertiwi ditindih jutaan gunung-gunung sebagai pabrik susu, amritham sanjiwani untuk menghidupi seluruh ciptaan-Nya. Lalu mendeterminasi ditularkan juga kepada Ibu-Ibu, mengusung gunung kemana sebagai pabrik susu untuk anak-anaknya.
Renungan nan kontemplatif yang semakin jelas, menemus narasi visual indrawi memasuki esensi kerohaniannya, menyadarkan diri terhadap sistem kerja-Nya yang paten inheren mengalir menjadi anugrah, kehidupan dan menyempurnakannya. Dia yang tersembunyi di balik realitas, terkondisi dalam realitas halus sublumasi nan abadi. Renungan sepi membuka diri, mendengar isyarat yang sublim hening adalah belajar mendekat sujud bhakti dipangkuan kasih-Nya.
Mencapai rasa kebenaran inilah perjuangan menundukkan ego material jasmaniah nan duniawi “menghaluskan” dan semakin halus meresap ke dalam serta merefleksi keluar memvibrasi. Ketika sudah demikian keramaian selera indrawi tertata, terkondisi semakin halus, ringan berkualitas “meresap” dan “dirasapi” keluhuran semesta yang meluhurkan. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi.
Facebook Comments