KUALITAS MUDRA BRAHMANA KASOGATHAN DALAM RITUAL UPACARA.
OLEH : MANGKU ACHARYA KRESNA DWAJA .
Mudra dalam konteks Brahmana Kasogathan adalah sebuah sikap yang diperankan oleh tubuh fisik, dengan penjiwaan yang sangat tenang, perasaan yang sangat dalam pada kualitas tindakan yang sedang dilakukan serta melandasi seluruh sikap ini dengan persepsi intelektualitas pada filsafat ajaran yang sempurna, sehingga seluruh gerak memiliki arti dan simbul dari ajaran yang melandasinya.
Pada saat akan memulai puja bhakti apapun, Brahmana Kasogathan tidak bisa mengabaikan mudra sebagai sikap mewujudkan kehadiran para Buddha, Bodhisatva, Para Guru Deva, serta Darmaphala. Sikap mudra ini sebagai simbul kompilasi energi yang terpaut di antara manusia sebagai wujud realitas kepada wujud intensitasnya sebagai makhluk rohani yang berhak menemui para Budha, Bhodisatva, Gurudeva dan Darmaphala. Mustahil seonggok tubuh daging yang tidak berkesadaran akan mampu berbuat lebih, apalagi memutar roda dharma kalacakra sampai mewujudkan Mahakala, sebagai media inkubasi energi yang akan dibentuk sebagai konsumsi energi yang diperuntukan kepada alam termasuk seluruh makhluk hidup yang mengikutinya.
Jadi, pada saat melakukan puja bhakti sebagai pelaksanaan sadhana actual, dalam mengemban amanah keharmonisan alam semesta berupa ritual upacara apapun (Panca Yajnya), selalu mengedepankan pola keseimbangan antara energi pribadi sebagai pelaksana ritual upacara dan energi para Budha, Bhodisatva, Gurudeva dan Darmaphala, sehingga terjadi keterpautan energi antar keduanya, terjadi daya tarik menarik sampai menghasilkan formasi energi baru yang dikenal sebagai Devarupa dalam ajaran Vajrajnana. Devarupa ini dikenal sebagai energi atau spirit yang akan menjadi Cakrawrthi di wilayah kawasan itu. Di Bali sendiri dikenal dengan “Bhatara”.
Melandasi dengan formasi energi berarti Brahmana Kasogathan tidak bisa mengabaikan prinsip tapa, brata, yoga, dan samadhi, dan tidak bisa menggantikannya dengan cara lain, selain disiplin melakukannya sebagai kewajiban sehari-hari. Prinsip tersebut, merupakan jangkauan kualitas dari mudra yang dimainkan di saat memimpin upacara. Kualitas dari energi yang dimainkan sebagai dasar menghidupkan seluruh potensi banten upakara sebagai lambang materi alam semesta. Dimana, banten merupakan simbol yang tidak bisa dianggap remeh atau bahkan mainan pada pelaksanaan upacara dalam kelompok kebrahmanan kasogathan, karena banten itu memiliki energi yang terformat juga dari jnana para pembuatnya (dikenal Tapini).
Disamping banten, juga dilandasi dengan konsep urip yang diambil dari komponen darah, dan daging makhluk hidup sebagai bahan materi penghidupan (Vasupati) sosok Devarupa. Format energi pada banten ini, merupakan rangkaian dari formulasi aksara yang dirumuskan melalui permainan jnanayoga yang mampu menembus batasan kulit luar sebuah wujud materi. Manusia biasa tidak akan mampu melihat formasi aksara yang ada pada setiap objek atau wujud apapun, termasuk membaca formasi aksara pada darah manusia yang dikenal DNA. Dalam Sastrajnana kabrahmanan kasogathan, mudra bisa diartikan sebuah tarian atau sikap yang mengandung unsur seni, sehingga menimbulkan wujud keindahan. Dalam rangkaian upacara sangat sempurna jika mampu menyuguhkan tarian mudra ini dengan sempurna, sebagai wujud penyempurnaan dari puja mantra. Demikianlah sedikit uraian tentang mudra pada kelompok Brahmana Kasogathan sebagai pembanding mudra dari kelompok brahmana lainnya sebagai pelengkap pembendaharaan wawasan pengetahuan kerohanian, khususnya pada konsep ritual upacara. Semoga bermanfaat. Om Vajra Na Ya Ho. Cahayamasnews.com/Andi.
Penulis adalah Pendiri sekaligus selaku Mahaguru Sanggar Belajar Spiritual Budhaireng, beralamat di Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Bali.
Facebook Comments