
“AURA KASIH”
KESADARAN SPIRITUAL DI DUNIA MATERIAL
Oleh: I Ketut Murdana (Minggu, 28 April 2024).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Ketika ambisi telah memuncak, ambisi kekuasaan beserta angan-angan kemewahan, melewati batas-batas kebenaran dan etika susila kesantunan, telah dihentikan dan dilebur oleh “keadaan”, serta mulainya kesadaran murni meresapi lubuk hati, maka penyesalan dan keinginan bertobat terjadi. Itu artinya seseorang telah sadar, mulai disinari sinar terang kemurnian dirinya yang sejati. Sebagai wujud hadirnya sifat-sifat keilahian yang meresapi lubuk hati, lalu bangkit mencari jalan pembebasan.
Menyadari kesalahan dan dosa-dosa menjadi karma jnana adalah edukasi spirit terbukanya jalan dharma atau jalan para widya menjadi energi baru yang menyegarkan rohani. Oleh karena itu membutuhkan waktu panjang dan juga bisa singkat, tergantung anugrah-Nya. Disitulah jawaban dari perjuangan (karma Jnana dan karma Kanda) mesti berjalan sesuai alurnya. Apabila belum “menemukan ajaran penyempurnanya”, ketidak stabilan jiwa dan emosi pasti terjadi. Maka penyesalan demi penyesalan yang melarutkan kesedihan tak terhindarkan. Lalu amat sulit memperoleh dan merasakan kedamaian dan kebahagiaan itu.
Pesta-pesta kemewahan duniawi dan istana terasa hambar, makanan dan minuman berubah menjadi sekam, lalu menjadi racun menyakitkan. Indahnya singasana emas berubah menjadi bara api yang selalu membakar dan bisa berubah menjadi duri yang menusuk-nusuk tubuh yang amat menyakitkan. Demikianlah kisah penyesalan atas keserakahn Dewi Key-kayi ketika Dewa Beratha menolak keinginan Ibunya menjadikan dirinya Raja Ayodya.
Atas dasar kesadaran dan ketentuan hukum kerajaan, Beratha kemudian mohon ampun dan menyerahkan kekuasaan Kerajaan Ayodya, atas nama Sri Rama. Dewa Beratha menstanakan Trompah Sri Rama sebagai simbol kekuasaannya. Lalu Dewa Beratha menempatkan dirinya sebagai abdi, tidak mau duduk di singasana kerajaan, lalu membuat tempat duduk di tanah, yang diberi nama Nandigrama dalam suatu ruangan khusus untuk menjalankan pengabdiannya menjalankan roda pemerintahan.
Kesadaran perilaku ini dimaknai sebagai upaya menghormati dan menjungjung tinggi kemuliaan Sri Rama, yang sedang berada di pengasingan dalam hutan rimba. Sebelum melakukan hal itu Dewa Beratha telah memohon restu kepada Maha Rsi Wasistha penasehat kerajaan. Saat itu Rsi Wasistha merestui dan sangat mengagumi niat suci penghormatannya kepada Sri Rama.
Mendengar apa yang dilakukan Dewa Beratha, membuat Dewi Kosalya menangis terisak-isak, sekaligus merasa bahagia mengagumi ketulusan jiwa Dewa Beratha tulus menghormati kakaknya. Mengorbankan seluruh kesenangan duniawinya, teguh keyakinannya pada dharman kebenaran. Demikian pula mengagumi putra-putranya yang lain, demikian taatnya mengorbankan segala kesenangannya, untuk apa yang diyakini benar lalu mengabdikan dirinya dengan penuh semangat nan tulus.
Saat itu pula Dewi Mandawi istri Dewa Beratha datang, menangis karena tidak “dihormati oleh suaminya”. Saat itu istrinya meminta, mengapa engkau tidak menyayangi dan merendahkan diriku, hingga engkau membiarkan aku sendiri tidak memberi kesempatan melayani tapamu yang sangat berat itu, yang menjadi kewajibanmu. Lihatlah kakak Sri Rama pergi bersama-sama kakakku Dewi Sitha, memperoleh kesempatan menjalini kewajiban suaminya pergi ke dalam hutan bersama-sama. Apa kesalahanku hingga engkau menyiksa diriku seperti ini?, demikian ketusnya. Saat itu pula Dewa Beratha menjawab; istriku tersayang, bukanlah aku menyia-nyiakan kewajibanmu kepadaku, baiklah ketika niat mu tulus ingin memberi sesuatu atas pelayanan pada kewajibanku yang tak dapat ku lakukan, baiklah. Tetapi bukan selalu bersama menemaniku dalam cara melaksanakan roda kepemimpinan ini, di tempat sunyi Dadigrama ini, lihatlah Ibu Dewi Kosalya, beliau sendirian ditinggal ayah dan kakak Sri Rama serta menantunya Dewi Sitha, tentu beliau sangat kesepian dan kerinduan setiap hari. Oleh karena itu layanilah beliau dengan penuh rasa bhakti, cinta kasih dan tulus ikhlas. Disitulah pengabdianmu untuk ku meringankan kewajiban pribadiku kepada kakak Sri Rama. Mendengar ucapan Dewa Beratha itu istrinya sangat senang dan bahagia. Lalu pergi menghadap Ibu mertuanya dengan senyum ceria dan langkah semangat
Setelah itu datanglah Dewi Key-Kekayi, sangat gelisah sedih, menangis terisak-isak jiwanya goncang tak terkendali, lalu minta maaf atas segala kehilapan menuntut janji kepada ayahnya, menjadi panah beracun yang membunuh suaminya itu. Lalu meminta dengan penuh welas asih untuk menyebut diri Ibu, sekali saja, kepada Dewa Beratha, ampunilah aku ini yang penuh napsu dan kebodohan, menuntut janji dan mengubah kesetiaan menjadi napsu kebengisan yang membuat aku tenggelam dalam gelapnya rasa malu Beratha. Lalu berteriak-teriak tak tentu arah, akibat selalu dibayang-bayangi kekejaman dosanya.
Saat itu Dewa Beratha sedang sedih dan galau memikirkan peristiwa yang menodai kemasyuran dan kedermawanan Raja kerajaan Ayodya saat itu. Lalu Dewa Beratha menjawab, mengapa aku harus menyebutmu Ibu, karena engkau telah menghapus hakmu sebagai Ibu yang telah menjerumuskan putra-putramu dalam penderitaan dan meruntuhkan wibawa kerajaan yang memalukan kemuliaan leluhur kami pewaris negeri ini. Memberi Ratu Permaisuri ampun dan menyebut sebagai Ibu, bukan membebaskan Ratu Permaisuri dari dosa dan membuat jiwa tenang dan bahagia. Akan lebih baik Ratu melakukan doa-doa pengampunan dosa, setiap saat siang dan malam, dengan menyebut nama Sri Rama terus menerus, semogalah Ratu Permaisuri diampuni. Demikianlah nasahat Dewa Beratha, lalu membuat Dewi Key-kayi terbuka jalan pikirannya lalu belajar melakukam tapa penebusan dosa.
Kisah ini amat penting dihayati, ketika kobaran api hawa napsu telah dipadamkan oleh air suci kesejukan, diarahkan oleh kuasa-Nya pada jalan kebajikan. Tentu ini suatu kemujuran, karena tidak larut tenggelam ke dasar kegelapan itu sendiri. Kasih sayang-Nya telah mengangkat dan meluruskan jalan hidup menuju kebajikan. Walaupun di jaman ini amat sulit memahami kebenaran ini. Tetapi “itulah kebenaran” kasih-Nya. Oleh karena itu ingatlah juga bahwa, ketika api sedang membakar kayu api, lalu disirami air, maka akan menjadi arang dan abu gelap yang berserakan. Membersihkan inilah karma awal mulainya jalan kebajikan, yang selalu berinteraksi dengan masalah yang terkadang membingungkan, karena masih dibutakan oleh ketidak sadaran. Saat-saat seperti inilah Sadguru amat dibutuhkan, sebagai teman diskusi mencairkan segala misteri hidup dalam kehidupan. Proses inilah sesungguhnya pembebasan yang terjadi dan dapat dirasakan. *** Semoga menjadi renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments