“AURA KASIH”
“SEMANGAT BHAKTI DI DUNIA MATERIAL”
Oleh: I Ketut Murdana (Selasa, 30 April 2024).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Menjaga semangat bhakti nan tulus, tidaklah mudah di zaman Kaliyuga ini. Persaingan diantara daya tarik material duniawi yang amat merangsang dan menggiurkan itu, dengan upaya mewujudkan keimanan yang mendamaikan jiwa yang tak terukur itu. Tujuannya tiada lain agar keimanan itu mampu mengendalikan energi material itu untuk penyempurnaan hidup mencapai kedamaian abadi. Bila tanpa material tidaklah mungkin. Oleh karena itu menyelaraskan adalah kebijaksanaan hidup.
Karakteristik zaman berpengaruh besar “Mengakibatkan” semua dominasi perhatian dan energi tercurah kepada obyek-obyek material yang tiada habis-habisnya itu. Alasan sibuk, lupa sembahyang atau menjauh dari aktivitas spiritual adalah realitas yang “Patut direnungi ulang”, ketika sadar pada esensi dasar kehidupan kosmologis yang selalu berhubungan erat. Oleh karena itu, mewaspadai karakteristik dan berupaya terus mengendalikan diri sesuai tuntunan-Nya adalah semangat bhakti di jalan para widya
Rangsangan demi rangsangan di dunia material itu tersulut motivasi gengsi dan kewibawaan, bisa terbangun dari bobot penguasaan material. Akibatnya nilai-nilai kebajikan bergeser kebelakang terkurung keremangan sinar dan energi yang melemah. Lihatlah ketika para tokoh politik hadir simakrama dan sembahyang ke tempat suci, atau hadir ke balai desa, sambutannya luar biasa meriah, hingga tarian Hanoman-pun ikut mengantarkan menuju tempat penyambutan sampai mempersilahkan duduk ditempatnya.
Karena saat itu ada anugrah langsung, berupa amplop tebal berisi ikatan pasukan merah, yang menjadi lirikan yang amat ditunggu-tunggu. Akibatnya puja memuliakan-Nya bisa saja berubah semangat dan alur konsentrasi. Mengubah semangat material (rajasika) menuju kondisi kejiwaan yang suci (sattwam) tidaklah mudah, akibatnya ada pula yang hanya sekedar lewat saja.
Hadirnya kondisi serupa, diantara kekuatan material yang meresapi dunia politik berhungan keimanan spiritual menjadi tantangan “Penyeimbangan” tersendiri dalam memurnikan iman kesejatian diri. Realitas ini dianggap “Kebenaran” saat ini, oleh karena itu, tidak merasa risih melakukannya di tempat suci. Perjudian politik dan bentuk perjudian napsu lainnya berkedok pembangunan, hingga halaman tempat suci dijadikan ajang perhelatan dari pagi hingga petang.
Pertunjukan seni erotik terbuka di ruang publik, dibiarkan dan tidak ada yang berani menggubrisnya. Semua “Dianggap benar”, dan untuk membenarkan hal itu, orang-orang ingin menjadi pejuang pembelanya untuk memperoleh kekuatan politik berbasis suara kuantitatif. Karena suara yang banyaklah kemenangan di negara demokrasi ini. Apabila dipandang dari sudut kebenaran tattwa dan “Kesucian”, tentu menimbulkan kerisihan hati nurani.
Sesuai ajaran-Nya bahwa tempat suci sudah seharusnya menjadi kewajiban setiap umat untuk menyucikan, baik secara ritual maupun sikap perilaku. Tetapi orang-orang yang ingin menempatkan kewajiban dasar prilaku seperti itu, kuantitasnya sangat minim, hingga tak bisa bersuara, bila bersuara tak bisa mengubah keadaan, akhirnya “Mengalah” entahlah akan kalah, atau menjadi motivasi spirit perjuangan demi kedamaian jiwa dan raga, agar seimbang dalam diri dan damai dalam lingkungan.
Sadar memahami realitas seperti ini, merupakan sinar suci yang menerangi untuk membebaskan diri dari gelap situasi yang “Dibenarkan”. Menjadi lingkaran setan yang harus dipotong dengan kualitas ketajaman jnana, bagaikan seorang Sulinggih memanah Nagabandha dalam ritual Pitra Yadnya.
Seperti itu para suci leluhur mengajarkan, melalui ritual simbolik yang mesti dibedah dan diurai agar menjadi kecerdasan spirit menemukan esensinya, menjadi dasar prilaku mendulang kebajikan. Lalu menjadi semangat bhakti menatap hari ini dan esok yang lebih baik dan berdaya guna. *** Semoga menjadi renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments