“AURA KASIH”
“RAHASIA KEBENARAN”
Oleh: I Ketut Murdana (Kemis: 01 Agustus 2024).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Ketika Rahwana memandang bahwa; melalui berkat Dewa Brahma tentang anugrah kekuasaan di tiga dunia. Tidak terkalahkan oleh Dewa, Raksasa, dan manusia. Memusnahkan gunung keangkuhan dan kecerdasan itu, Dewa Wisnu (Narayana) hadir sebagai manusia setengah dewa, dibantu oleh kekuatan manusia kera, yang luput dari perhitungan kecerdasan berpikir Rahwana, untuk mengabadikan dirinya.
Walaupun berkat yang luar biasa itu belum memuaskan dirinya, lalu memuja Dewa Shiva, dengan menggetarkan Gunung Kailasa yang menakutkan Dewi Parwathi. Lalu jempol kaki Dewa Shiva menekannya hingga tak berkutik, lalu mohon ampun agar diberkati sebagai pemuja-Nya. Akibat perjuangannya memuja Shiva dengan kekuatan besar dan ketinggian kecerdasannya. Pada suatu saat, agar tidak datang setiap hari ke Gunung Kailasa, maka dia memohon kepada Dewa Shiva agar memberkati Lingga Yoni yang menjadi simbol kuasa-Nya, dipindahkan ke Ayodya. Dewa Shiva yang penuh kasih kepada para pemuja-Nya, memberkati. “Lalu Dewa Shiva melirik Dewa Ganesha dengan penuh makna”. Signyal pertanda spirit ini menyentuh hati, pikiran, rasa dan kecerdasan Dewa Ganesha untuk melakukan sesuatu, agar mampu mengurungkan niat dan napsu Rahwana yang berlebihan itu.
Lalu melakukan strategi memperdaya menggagalkan upaya Rahwana. Upaya itu berhasil dilakukan oleh Dewa Gabesha. Itu artinya kecerdasan yang direstui atas perintah kewajiban mampu memenangkan dan mengatasi “anugrah yang dijiwai napsu besar”, hanya untuk kesejahteraan kelompoknya saja. Itu artinya kebenaran hakiki menundukkan kebenaran yang dijiwai napsu. Rahasia kebenaran inilah amat sulit diketahui dan dirasakan “apabila jiwa-jiwa dibesarkan oleh napsu kekuasaan duniawi”. Membiarkan napsu semakin besar, memandang diri sebagai kesatria sejati yang alergi terhadap kasih sayang sejati. Melupakan rasa hormat dan memuliakan kepada “YANG” memberkati. Dia hanya percaya kepada berkat, dan menggunakannya dengan sewenang-wenang.
Pada sisi yang lain, Rahwana sangat membenci, menentang dan melecehkan Sri Rama, dengan menculik Dewi Sitha. Segala bentuk nasehat baik dari ayah mertuanya, permaisurinya, Kumbakarna, Wibhisana serta utusan Sri Rama yang ingin mengampuninya, justru dianggapnya sebagai penghalang yang memusuhinya. Dalam narasi ini Dewa Wisnu sebagai salah satu, dari ketiga kuasa Dewa Utama yang dilupakan bahkan dilecehkan hingga menghancurkannya. Rahasia kebenaran yang berkerja untuk “menyadarkan keimanan” ini agar sampai pada keyakinan terhadap “kebenaran sejati” dimentahkan, diabaikan bahkan dihina sekehendak hatinya.
Memaknai sistem kerja kebenaran semesta ini, amat rahasia bagi orang-orang yang merasa benar, mengukuhkan ego atas berkat itu sendiri. Walaupun kebenaran itu menampakkan diri sebagai energi suci edukasi penyadaran, tetapi tetap menjadi rahasia, karena keterbatasan memahami. Akibat dari semua itu pada akhirnya, dimusnahkan lebur oleh kuasa kebenaran semesta yang disebut dharma sejati. Demikian pula kebencian Prabu Dhaksa yang berlebihan kepada Dewa Shiva, akibat salah satu kepala kesombongan ayahnya Dewa Brahma dimusnahkan oleh Dewa Shiva, sebagai “edukasi penyadaran dan penyempurnaan, kepada umat manusia.
Ketidak sadaran Prabu Dhaksa terhadap kebenaran hakiki yang disebut Maha Kuasa itu, menjadi kebencian dan dendam penghinaan yang tiada henti. Akhirnya Dewa Shiva menghadirkan kekuatan-Nya dalam wujud Wira Badra yang tak tertandingi oleh Dewa Wisnu pujaan-Nya. Lalu kepala Prabu Dhaksa dipenggal di depan persidangan. Akibat permohonan istrinya yang penuh kasih, telah berulangkali menasehatinya agar memuliakan Dewa Shiva, bahkan telah menjadi menantunya sendiri sebagai suami Dewi Sathi. Atas permohonan itu, kepala Prabhu Dhaksa diganti dengan kepala kambing lalu dihidupkan kembali, dalam kesadaran prilaku pengampunan dosa. Saat-saat berkepala kambing seperti itulah dia melakukan penebusan dosa, selalu menyebut dan memuliakan Dewa Shiva.
Akankah kita sebagai manusia biasa, sadar terhadap gerak hawa napsu yang membutakan itu?. Hingga menggelapkan kabut atmosfir dunia seperti sekarang ini?. Tentu semua berpulang pada kesadaran diri masing-masing. Bercermin dari narasi kitab suci yang selalu mengingatkan dan menyadarkan. Seperti itulah rahasia kebenaran itu bekerja, memberkati kemajuan dan kemenangan rohani yang membahagiakan, bagi penganut-penganutnya. Dibalik semua itu menghancurkan dan melebur semua bentuk kesewenang-wenangan yang tak bisa dihindari oleh siapapun. Ketika salah dan berbalik memantaatkan anugrah, akan menjadi mala petaka. Itu artinya hukum karma bekerja dan berlaku kepada semua ciptaan-Nya. Tidak ada seorangpun yang bebas dari semua itu. Walaupun ada yang memandang dirinya terbebas dari hukum itu, barangkali hanyalah seloroh untuk menutupi kelucuan yang tak bermutu itu. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments