October 23, 2024
Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“Penyempurnaan Diantara Hukum Dunia dan Hukum Karma”

Oleh:  I Ketut Murdana (Rebo, 23 Oktober 2024).

MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Ketika proses dan permainan hidup manusia, mampu menempatkan diri sebaik-baiknya terhadap aturan hukum duniawi yang diciptakan orang-orang cerdas berbudi luhur, hingga disebut “Leluhur”, amatlah damainya dunia ini. Mewujudkan hasrat semuanya itu, memerlukan perjuangan panjang nan sungguh.  Dari semua aspek bergerak menjadi realitas super komplek, dinamis penuh misteri.

Itu artinya sadar tidak sadar kehidupan itu berhadapan dengan persoalan besar nan makro, yang meresap di dalam diri dan semesta raya di luar diri, menjadi pengetahuan Atman menuju Brahman. Kuasa-Nya sebagai Sang Waktu menumbuhkan, mengubah, selalu berkembang dan bergerak dinamis, serta pada saatnya sirna kembali.

Kesadaran kosmologis ini mengekspresikan dan menuangkan hasrat menjadi “aturan” yang ingin mengatur manusia agar mencapai tujuan hidup penyempurnaan. Dalam proses penyempurnaan inilah sesungguh persoalan besar, multi komplek yang selalu bergerak dinamis, amat rahasia nan misterius. Ruang dan proses edukasi spirit permukaan terindrawi nan logis menjadi ketentuan pembacaan menjadi “pembenaran”, menuju “kebenaran” sejati nan Ilahi, dalam kontek keterukuran obyektif.

Dimana posisi subyektifnya?, tentu pertanyaan ini menempatkan ruang etis dalam keragaman yang multi dimensional, menjadi tatakrama yang meresap lalu mengekspresikan kesantunan prilaku yang bisa diterima di mana-mana. Dia tak tertulis tetapi tercatat dalam kesadaran etis, meninggikan harkat moralitas.

Dua hal besar yang melandasi proses itu tiada lain adalah Kesadaran (Cettana) dan Ketidak Sadaran (Acettana). Ada “kesejatian” dan ada juga “ruang maya”, yang mewilayahi ruang tapsir multi interpetasi, lalu menjadi “pengetahuan”, dengan segala ekspresinya. Disitulah pengetahuan disebut mengalir. Persoalannya menjadi pertautan komplik, lalu harmoni demikian seterusnya, yang tiada henti sepanjang hidup, menjadi kehidupan yang mengedukasi.

Walaupun pada posisi ketidak sadaran bisa menimbulkan kebosanan dan keputus-asaan. Akankah setiap insan sadar terhadap edukasi kehidupan di ruang masalah yang bergerak dinamis itu?. Jawabannya adalah kualitas kesadaran manusia yang “hadir” dan “ditakdirkan”, memahami serta melaksanakannya. Dalam kontek ini pertualangan hidup dalam kehidupan itu bersama-sama bergerak dinamis.

Melalui kesadaran mencapai tujuan, kesadaran Ilahi mengantarkannya selamat mencapai tujuan, dan itulah “kemenangan” yang diperingati dan dirayakan. Sudah saatnya di era kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni seperti sekarang ini, “merenungi realitas duniawi yang telah membudaya, lalu sadar menerobos misteri kesemestaan, memperoleh “anugrah ciptaan baru”. Agar bisa mewariskan sesuatu yang berguna, lalu saatnya nanti membudaya pada jamannya. Saat itulah sesungguh proses edukasi, pergolakan, pertautan harmoni penyempurnaan itu terjadi.

Diantara hasrat penyempurnaan mencapai kesadaran Ilahi dan penghancuran memasuki penjara Neraka Asura, disebutkan sebagai “kemenangan” dan “kegagalan”, atas batas waktu yang ditakdirkan. Tidak mudah mengenal dan merasakan kebenaran ini, hingga benar-benar menjadi keyakinan yang kokoh menciptakan rasa damai yang benar “mempribadi”. Artinya ada yang sejak awal kelahirannya menyadari proses penyempurnaan itu, lalu belajar, berjuang untuk menemukan Guru yang menuntunnya. Radeya diantarkan oleh orang tua pungutnya untuk mencari dan menemukan Guru.

Lalu bertemu Guru Drona yang dikukuhkan menjadi Guru Istana Kerajaan Asthina Pura. Oleh karena itu Radeya tidak bisa diterima sebagai murid, karena pendidikan itu, telah dikondisikan oleh “aturan Kerajaan”. Sebagai seorang Guru Drona amat kasihan menyaksikan hal itu, lalu memberkati pengetahuan. Tetapi Radeya yang cerdas tidak mau menerima berkat itu, karena “berkat pengetahuan” adalah proses belajar. Akibat kecerdasannya itu lalu Drona memberi nama Karna yang berarti keinginan dan hasrat yang kuat.

Tentu realitas ini amat langka di jaman sekarang ini. Karena instanisasi pasilitas mengekspresi selera dan napsu menjadi semakin terbuka luas dan terlayani dengan mudah, hingga maenstreem duniawi yang tak terkendali, hingga organ-organ tubuhpun dijual. Organ rahasia menjadi sajian terbuka, menjadi konsumsi publik demi uang. Kontradiksi realitas duniawi dengan harapan penyempurnaan diri, mencapai kesejatian diri yang sejati, melalui pengendalian selera dan napsu menjadi semakin jauh, bahkan terlupakan.

Akibatnya menjadi pengukuhan seremonial, dan ritual menjadi barter spirit yang dimaknai sebagai kebenaran. Lalu berhenti sampai disitu, karena sudah dianggap selesai. Pencemaran danau, sungai, lautan, sawah, udara dan hutan gundul lalu dibayar ritual meriah. Tidak disertai tindakan protektif, tentu jawabannya hanyalah kebanggan atas kegagahan filosofis, tetapi penyakit biologis dan mental fsikologis semakin merebak, bagaikan tikus mati di lumbung. Realitasnya ditengah-tengah sumringah perekonomian material duniawi terjadi orang-orang mati gantung diri yang semakin banyak.

Realitas ini menunjukkan konsentrasi dan berat pembangunan ke arah dunia material, mengakibatkan semakin kosong di dunia material. Realitas ini sudah semestinya menjadi prioritas, diyakini dan dilaksanan bersama-sama dari hulu ke hilir. Dari hululah mesti disempurnakan. Apabila kepalanya berbeda dengan badannya tentu amat sulit dibayangkan apa yang akan terjadi. Apakah yang akan terjadi bagaikan Narasinga, berbadan manusia berkepala Singa hadir ke dunia untuk menghancurkan keangkara murkaan Prabu Kangsa. Tentu semesta Ilahilah Sang Kuasa menjawabnya kepada dunia. Oleh karena itu pujalah kebesaran-Nya dalam segala prilaku, menjadi energi Ilahi penyempurna segala aspek. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.

Facebook Comments

error: Content is protected !!