October 25, 2024
Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“SEBERKAH CAHAYA DALAM KEGELAPAN”

Oleh    :  I Ketut Murdana (Jumat, 24 Oktober 2024).

MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Ketika napsu kekuasaan sewenang-wenang melewati batas, tersentuh reaksi energi suci kebenaran, akibatnya menjadi konflik dan pergolakan kecil, menengah dan berskala besar menjadi perang dunia. Menghindari gelombang emosional keangkuhan seperti inilah merupakan kewajiban bersama, dengan cara mempebaiki segala kekurangan, menguatkan iman pengendalian diri mencapai kebenaran, diwajahi oleh nilai-nilai estetik “kesantunan semesta”, agar tidak terus memudar, karena memang dipudarkan oleh asura yang berperan seperti itu.

Perjuangan melawan adharma dengan berbagai reaksi dan konteks-nya, sesungguhnya adalah KESADARAN (Acettana) yang dimulai dan diinisiasi oleh Sang Diri (Atman) yang berpancar dari Kuasa Semesta Raya (Brahman), bergetar dan bergerak berupaya terus menembus kegelapan, mengatasi ketertindasan hati nurani dari kekuasan dan kesewenang-wenangan ego, napsu yang menguasai. Semuanya itu dihayati sebagai kebenaran, dengan aneka ragam wujud karakteristik topeng-topengnya.

Penghayatan realitas semacam inilah, sekarang hidup akibat dirasuki oleh kekuatan asura cerdas untuk menguasai. Dipecah belah, adu domba, direndahkan derajat kepercayaan dirinya, dihina melalui arus kekuatannya. Semuanya itu barangkali sebagai “realitas penyadar”, yang mesti diperjuangkan, demi tegaknya dharma di bumi. Siapa lagi yang semestinya berjuang dan memperjuangkannya, kecuali orang-orang yang telah terpanggil Kesadaran Semesta-nya. Apabila abai dan lalai atau semakin abai, maka semakin tenggelamlah dharma itu sendiri.

Ada yang sudah “nggeh” sadar tetapi tetap tertindas oleh kekuatan berbasis material ekonomi dan ketakutan lainnya. Akibat dari semua itu kesadaran diri yang suci itu, tenggelam semakin tak berdaya, walaupun esensi jiwa yang suci tak pernah hilang. Bagaikan Wibisana yang hidup dikalangan asura. Walaupun ditindas dan dikucilkan tetapi tetap teguh berjuang menyuarakan dharma, akhirnya dijadikan Raja Alengka menyelamatkan rakyat dari kesewenang-wenangan Rahwana.

Menyadari dan membangkitkan kesadaran ini, bukanlah tugas ringan, mesti ditebus lewat perjuangan dan pengorbanan yang seringkali melelahkan, walaupun bangkit lagi menguatkan iman dan semangat. Realitas perjuangan ini sering disebut penderitaan, tetapi jiwa satria nan suci memperoleh ruang “penebusan” dan menembusnya. Seperti itulah wujud laksana tapa, “menembus dan bertahan”, yang dimaknai di jaman Kaliyuga ini.

Menembus merupakan refleksi sadar bahwa di depan wajah terbentang misteri gelap yang harus dilewati, karena memang harus dilewati, merefleksikan kesadaran terhadap kewajiban yang berani. Bagaikan Arjuna mampu membebaskan keragu-raguan untuk berperang atas kewajibannya. Semus itu akibat sentuhan suci kesadaran oleh Sri Krishna. Bertahan maksudnya adalah agar tetap teguh mempertahankan semangat dan keyakinan, di jalan pengabdian karena disitu ada Sang Pelindung yang pasti melindungi.

Penjajahan dan perlawan inilah proses penyadaran yang tertuntun, menembus kegelapan jaman. Demikian pula refleksinya di dunia luar diri, dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

 

Kesadaran terhadap kewajiban hidup berbangsa dan bernegara, saat ini lebih menempatkan penguatan dan memperkaya posisi individu. Walaupun kondisi ini tidak salah tetapi yang salah, apabila memupuknya dengan cara yang tidak benar dan santun, yang merugikan rakyat banyak.

Banyak orang-orang berjuang agar menang menjadi pemimpin dan wakil rakyat, tetapi banyak bersikap sebagai Barter, harus kembali modal. Akibatnya janji-janjipun berubah menjadi penggerus pundi-pundi anggaran, menggerus kejujuran hati nurani, ketulusan, kebijaksanaan, memecah belah rasa persaudaraan, memarginalkan para pemuja Tuhan, terus menghembuskan minuman keras, pelindung dan penguat pemuasan Asura. Itulah realitas yang mesti dipahami secara bijak dalam dua kutub nilai. Apabila ingin menjadi raja di jaman Kaliyuga maka Asura harus dipuaskan.

Dibalik semuanya itu, mesti dilihat dan dipahami bukan hanya “gejala” dan “pembawa gejala”, tetapi pesan moral nan edukatif tersembunyi, dari Pengatur Alam Semesta, agar setiap insan sadar dan sesadar-sadarnya menembus realitas gelombang dualitas ini dengan kesucian hati nurani. Bernegara bukan hanya meminta, tetapi memberi sedikit, apalagi banyak, jauh lebih bernilai. Walaupun tidak menjadi raja, karena kebajikan itu bukan mesti dituntut dan ditumpahkan kepada raja dan menjadi raja.

Wujudkanlah kebajikan itu bersama-sama, karena kebajikan itu adalah nilai vital nan esensial dalam diri setiap orang. Oleh karena itu melakukannya sesuai kewajiban dan kemampun demi kemajuan bangsa. Bukan hanya siap nyinyir, tetapi tak bisa diteladani prestasinya. Keteladan dari prestasi pemberian inilah refleksi kesadaran kesucian jiwa yang menyatukan dengan sifat-Nya yang maha Suci. Oleh karena itu, apapun konflik adalah realitas dan proses edukasi spiritual personal di ruang kolektif nan semesta Ilahi, bagi orang yang tersentuh dan dialiri energi suci kesadaran.

Barangkali seperti inilah wujud Asura di jaman Kaliyuga yang disebut akhir jaman, untuk memulai jaman baru yang tenang dan damai. Pertanyaannya…dimanakah posisi proses perjuangan hidup penyempurnaan diri itu berjalan?, tentu jawabannya adalah berintikan KESADARAN masing-masing, agar bisa memberi yang terbaik kepada bangsa dan negara yang sedang menuju kecemerlangan ini.

*** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi.

Facebook Comments

error: Content is protected !!