February 25, 2025
Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“SISUPALA TERKENAL SEBAGAI KESATRIA PENGHINA YANG CERDAS”

Oleh:  I Ketut Murdana (Selasa, 11 Pebruari 2025).

MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Sisupala dilahirkan di Kerajaan Cedi oleh orang tuanya yang bernama Srutha Srawa, sepupu Basudewa. Kelahirannya berlengan empat dan memiliki mata ketiga. Akibat wujud fisiknya yang demikian itu, orang tuanya sangat resah, lalu ingin membuangnya ke laut sebagai upaya menyerahkannya kembali pada alam. Saat upaya itu  dilaksanakan, terdengar sabda dari udara, bahwa keanehan anak itu akan diselamatkan oleh orang suci titisan Dewa Wisnu, yang suatu saat akan datang memangkunya. Anak itu juga akan dibunuh oleh orang yang sama setelah dewasa, demikian sabda suci dari langit terdengar lalu menghilang di kesunyian.

Suatu ketika Basudewa bersama Sri Krishna berkunjung ke rumah Sisupala di Kerajaan Cedi. Ayahnya Srutha Srawa sangat senang dikunjungi saudaranya, lalu memperlihatkan keberadaan anak dalam kondisi seperti itu. Lalu Sri Krishna memangkunya, saat itu pula dua lengan dan mata ketiganya hilang lenyap tanpa bekas. Tubuh Sisupala saat itu pula normal kembali. Srutha Srawa bersama istrinya sangat bahagia atas anugrah itu.

Kemudian mengucapkan rasa syukur dan trimakasih, lalu memohon kepada Sri Krishna agar mengampuni dosa-dosanya dan bersabar atas keburukan tingkah lakunya. Saat itu pula Sri Krishna berjanji mengampuninya sampai seratus kali (100) penghinaan, ketika itu dilakukan didepan khalayak ramai. Sisupala kecil belajar bersama Datawaktra dibawah bimbingan Jarasandha, diajar untuk membenci Sri Krishna. Setelah dewasa mereka berdua menjadi pemuda yang sangat tangguh, Jarasandha sangat mengaguminya.

Mereka berdua diangkat sebagai ketua pasukan perang menyerang kerajaan Matura, kerajaan kakeknya, ayah Badudewa. Akibat kemenangan itu Sisupala dan Datawaktra diangkat oleh Jarasandha menjadi Panglima perang. Suatu saat ketika Sisupala ingin meminang dan menikahi Dewi Rukmini dari Kerajaan Widarba, telah berjanji untuk dijemput di daerah perbatasan, tetapi Sri Krishna telah melarikan dan menikahinya. Akibat perlakuan Sri Krishna itu membuat Sisupala sangat dendam

Selanjutnya Jarasandha dari Kerajaan Magada, dalam perang tanding dibunuh oleh Bima, atas tuntunan Sri Krishna untuk membelah badannya menjadi dua, lalu dibuang berbalik, yang dikiri dibuang ke kanan demikian sebaliknya. Atas kemenangan itu Yudhistira dari Kerajaan Indraprastha ingin mengadakan upacara Rajasuya sebagai penghormatan kepada Leluhur Dinasti Kuru. Untuk menerima persembahan yadnya, sebagai harga puja Sri Krishna terpilih oleh para menteri kerajaan, termasuk Bhagawan Bisma sangat menyetujui, karena peran besar Sri Krishna sebagai Duta dan juga pemberi petunjuk besar terhadap kemenangan Pandawa menundukkan kerajaan lainnya.

Saat upacara Rajasuya dilangsungkan, Sisupala juga diundang dari kerajaan Cedi. Menyaksikan bahwa Sri Krishna dinobatkan sebagai tamu kehormatan sebagai penerima Yadnya Puja, Sisupala menghina Sri Krishna habis-habisan karena dianggap sebagai pengembala sapi penipu yang ulung, pembohong, mengawini wanita yang sudah bersuami hingga seribu enam ratus (1600) orang dan kebohongan lainnya. Demikian ketus Sisupala

Saat itu Bhagawan Bisma, menasehati agar segera menghentikan penghinaan itu, justru dijawab dengan penghinaan balik kepada Bisma. Hai Kakek Bisma aku akan melakukan apa yang aku anggap benar. Engkau juga sangat hina karena dengan kekuatanmu melarikan wanita yang telah bertunangan, lalu engkau abaikan begitu saja dalam penderitaannya, hingga bunuh diri…dimana kebijaksanaanmu kakek Bisma?, demikian sahut Sisupala penuh emosi.

Yudhistira hanya tersenyum menyaksikan penghinaan itu. Lalu Bima menghardik Sisupala dengan kata-kata kemarahannya membela Sri Krishna. Sri Krishna menjawab hai Bima biarlah dia menghinaku terus, aku terdiam bukan berarti tidak memperhatikan, tetapi sedang menghitung berapa kali dia telah menghinaku. Lalu  Sri Kreshna bertanya hai Sisupala sudahkah engkau menghitung jumlah penghinaanmu atau kau telah lupa menghitungnya?. Lalu Sisupala menjawab, aku tidak takut dengan ancamanmu melalui seratus kali penghinaan, tetapi aku dapat menghinamu tiga ratus kali, seribu kali, karena engkau memang sangat hina. Saat ini engkau merendahkan harga yadnya puja yang sangat besar dan suci ini.

Mendengar hinaan yang menjijikkan itu, karena telah mencapai seratus kali di depan publik, kemudian Sri Krishna mengeluarkan Cakra Sudarsana lalu melempar menebas leher Sisupala di depan pertemuan pelaksanaan upacara Raja Suya, lalu roboh tak berdaya. Kejadian ini amat mengagetkan terutama Duryodhana, beginikah caranya menyelesaikan masalah di depan persiapan ritual yang suci?. Raja-raja yang lain tak menggubris pertanyaan Duryodhana itu.

Setelah Cakra Sudarsana kembali lalu menghilang, telunjuknya meneteskan darah. Saat itu Dewi Drupadi merobek selendang sarinya lalu membalut darah yang keluar di telunjuk Sri Krishna. Sri Krishna berterimakasih kepada Dewi Drupadi, dan berkata “suatu saat aku akan membalas kebajikanmu”.

Melalui kisah cerita ini, dapat disimak bahwa; Sisupala dididik oleh Jarasandha untuk selalu membenci Sri Krishna, merupakan edukasi yang kontroversial los kebajikan, akibat doktrin-doktrin kebencian memusuhi meresap menjadi “kekuatan ego” menggunung dalam diri, hingga kebajikan apapun yang dikerjakan orang lain dan raja pemimpin bangsa selalu dianggap salah, oleh karena dianggap hina dan berhak dihina. Demikian pula melupakan jasa-jasa kebajikan yang telah menyelamatkan.

Tetapi kebenaran Semesta Dharma, akibat kasih-Nya selalu memberikan pengampunan dan pembinaan hingga seratus kali. Apabila standar kebajikan yang normatif ini tak dihiraukan dan terus menghina, serta berbuat buruk, maka saatnya pula akan ditenggelamkan oleh kuasa-Nya yang amat rahasia, memasuki neraka keterpurukannya. Karena kebenaran itu merupakan hakekat hukum semesta yang tak terhindarkan oleh siapapun yang melewati batas-batas keberadaannya dengan keangkuhan.

Walaupun Sisupala telah terbunuh secara fisik, tetapi rohnya, bisa beringkarnasi kembali sesuai hukum Karma Phala. Barangkali saat ini Sisupala telah beringkarnasi kembali, bersama Sengkhuni, Duryodhana, Raja Kamsa, Jarasandha, dan lain-lainnya menjadi banyak tokoh cerdas yang terkenal sebagai pembuli dan penghina yang cerdas, tetapi cukup meresahkan jagat Nusantara saat ini.

Barangkali perlu direnungi pasti ada sesuatu dibalik realitas itu, terutama “nilai kebajikan yang tersembunyi”, mesti diperjuangkan bersama-sama membangun negeri mewujudkan persatuan dan kesatuan. Bagaikan narasi Siwa Purana, untuk mengatasi ketidak seimbangan dan kemiskinan dunia, Para Dewa dan Para Raksasa bekerja sama melakukan pemutaran lautan susu untuk memperoleh Amritham yang mensejahterakan dunia, dibawah perlindungan Dewa Shiva. Hal ini patut menjadi renungan bagi para tokoh bangsa, mewujudkan kedamaian dunia. Bukan selalu sibuk membuli menghina dengan kata-kata kotor, berkedok kritis yang patut segera diatasi.

Saat inilah peran pemimpin terpilih siap menegakkan dharma, selanjutnya rakyat tak hanya menuntut, tetapi bekerja keras bersama-sama mewujudkan cita-cita luhur bangsa demi masa kini dan masa depan anak-anak bangsa. Semuanya itu mesti dimulai dari penguatan pendidikan yang selalu memperjuang pengetahuan yang mencerdaskan di dunia material dan dijiwai oleh kebajikan (spiritual) nan suci. Walaupun perjuangan ini tidak mudah, tetapi bila kesadaran terhadap persatuan dan kesatuan bangsa terkonstruksi, menjadi komitmen, maka kecemerlangan atas potensi besar bangsa ini pasti akan tercipta. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.

Facebook Comments

error: Content is protected !!