May 14, 2025
Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“LEBUR KE DALAM ENERGI DHARMA”

Oleh : I Ketut Murdana (Jumat : 25 April 2025)

BADUNG (CAHAYAMASNEWS.COM). Memang tak mudah lebur atau meleburkan diri kedalam menjadi sifat-sifat yang berenergi dharma. Ketika jiwa-jiwa itu “tersentuh” energi dharma, itu artinya memerlukan perjuangan yang berani, mengatasi dan menyempurnakan kekuatannya dalam ruang sosial. Menundukkan sifat-sifat asura yang juga meresap kuat dalam diri setiap insan. Kekuatannya yang mengikat halus, seringkali memanjakan selera, hawa napsu dan ego, yang “terasa menyenangkan”. Lalu membawa semakin haus “disenangkan”, menjadi nafsu tak terkendali. Ketika sudah demikian memerlukan kesadaran dan perjuangan kuat “mengendalikannya”. Menggerakkan jejaring dan energi kesadarannya, hingga diresapi oleh energi dharma, agar menjadi prilaku yang “bersemangat kebajikan”, sesuai alurnya masing-masing.

Saat-saat seperti inilah edukasi insan-insan tersentuh kasih-Nya. Nilai kuantitas dan kualitas menjadi alur pergulatan narasi penentu capaian nilai. Saat-saat seperti itulah jiwa-jiwa perlahan diresapi energi dharma, lalu memformulasi nilai-nilai secara terus menerus, menjadi jalan hidup (jalan para widya). Jalan hidup yang berenergi dharma ini menembus misteri, keluar dari lingkaran hidup yang berenergi bhuta nan gelap gulita. Para suci menyebutnya “kebodohan”. Artinya kebodohan pengetahuan spiritual yang tak mengenal kesadaran penyempurnaan diri, mencapai kehidupan yang sejati.

Jiwa-jiwa yang terkondisi realitas inilah, jiwa yang dijauhi oleh “energi dharma” terkondisi jiwa-jiwa asura seperti yang terjadi kebanyakan saat ini. Akibatnya amat menyengsarakan. Walaupun bisa “menang”, tetapi dijiwai napsu kemarahan dan pembenaran diri untuk kelompoknya saja. Akibatnya menjadi kemenangan yang menghancurkan, lalu dimanipulasi melalui ritual dan seremonial mewah menunjukkan wibawanya.

Demikian pula kisah Prabu Dhaksa melaksanakan ritual besar memuja dan memuliakan Dewa Narayana dan Dewa Brahma. Mengundang para acarya guru-guru suci untuk berdoa bersama memuliakan-Nya, demi kejayaan kerajaannya. Tetapi membiarkan Dewi Sathi putrinya sendiri, luput dari undangan. Walaupun demikian Dewi Sathi datang juga saat ritual puja itu. Tetapi saat ritual berlangsung Dewi Sathi diabaikan karena sudah dianggap sebagai putri pembangkang, karena menikah dengan Dewa Shiva. Lalu menghina Dewa Shiva tak henti-hentinya. Akibat dari semua itu Dewi Sathi marah dan kecewa tak terima Dewa Shiva dihina, tak ada seorang Dewa dan Guru Sucipun yang bisa membantunya.

Lalu Dia membakar diri diarena ritual kerajaan, demi cintanya kepada Dewa Shiva. Saat itu Dewa Shiva datang merangkul mayat Dewi Sathi dan melarikannya ke luar istana. Dewa Narayana menyadari realitas ini, agar Dewa Shiva tak larut dalam kesedihan yang bisa berakibat buruk bagi surga dan alam semesta. Akhirnya Dewa Narayana mengeluarkan Cakra Sudarsana menghancurkan mayat Dewi Sathi lalu jatuh berkeping-keping ke bumi. Saat itu Dewa Shiva berteriak histeris ditinggalkan oleh sakti-Nya.

Memaknai realitas spiritul nan suci itu, bahwa Prabu Dhaksa di satu sisi memuja Dewa Wisnu, tetapi selalu membenci dan menghina Dewa Shiva, yang sesungguhnya merupakan tiga dewa utama yang patut dipuja. Narasi ini mengisyaratkan Dewa Shiva terlepas pisah dari kekuatan-Nya, lalu jatuh dan diserap bumi. Demikian pula Dewa Shiva turun ke bumi, meresapi hukum bumi, yang amat rahasia. Realitas ini membutuhkan perjuangan untuk mengumpulkan pecahan tubuh suci Dewi Sathi yang berkekuatan Ilahi itu. Menciptakan ruang karma bagi “insan-insan yang tersentuh”, agar bisa mengabdi melayani upaya penyatuan agar bisa bersatu kembali pada saatnya. Perjuangan meresapi dan memaknai nilai kebenaran itu, menjadikan prilaku nyata dan bersemangat, mewujud “sifat-sifat keilahian” itulah energi dharma bergerak mencapai tujuan.

Dibalik itu kecerdasan memalsukan yang lahir dari  watak asura cerdas saat ini, merebut indriya dan selera insan-insan saat ini, hingga jiwa nan suci terbungkus rapi. Akibatnya menjadi gaya hidup meriah, berselera rendah, menjajakan hal-hal sensitif di depan publik, meniru selera  binatang. Realitas sosial seperti ini terbungkus dan diperkuat oleh gaya hidup berbasis hak asasi. Pembenaran logis namun los etika kesantunan bergelora menembus semua dinding yang pada akhirnya semua menjadi “murah”.

Itu artinya energi dharma telah terbungkus rapat, oleh kekuatan energi napsu nan egoistik. Akibatnya suara kebenaran dharma semakin tersembunyi, bagaikan Dewa Shiva duduk bertapa di bawah tanah tak ada yang mengenalnya. Karena yang hidup dibawah tanah adalah binatang dan makhluk sejenis lainnya. Hanya Dewa Narayana saja yang mengenal-Nya. Itu artinya jiwa-jiwa binatang tak pernah mengenal sifat-sifat Ilahi, karena pengetahuan itu tak menjadi berkat-Nya.

Insan-insan manusia yang memperoleh berkat pengetahuan, material dan spiritual mesti memperjuangkannya agar mampu memanusiakan sifat-sifat asura yang terkondisi dalam diri setiap insan, menjadi kesadaran prilaku mencapai keilahian manusia sejati. Kesadaran pembuka prilaku merupakan awal terwujudnya sifat dan energi dharma dalam diri sendiri. Memperjuangkan dengan penuh kesungguhan dan keyakinan pasti dialiri energi dharma. Tetapi asurapun selalu menghadang, menerjang dan membungkam.

Saat itulah energi dharma mengalir dari semesta tanpa disadari, karena tak terjangkau alam pikir, dan itu pasti terjadi mengatasi segalanya. Saat itulah dharma dapat dirasakan kemenangannya bagi-bagi abdi-abdi dharma hingga patut dirayakan. Tetapi tak berhenti hanya pada perayaan semata, karena asura selalu mengintip kelemahan insan-insan duniawi untuk dikuasai. Oleh karena itu waspada terus (“jagraham”) adalah jawabannya. *** Semoga menjadi renungan dan refleksi. Rahayu.

Facebook Comments

error: Content is protected !!