“AURA KASIH”
“KEMENANGAN YANG MENDAMAIKAN”
Oleh : I Ketut Murdana (Jumat : 10 Januari 2024).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Semakin kabur dan memudarnya nilai-nilai kebijaksanaan dalam diri insan-insan duniawi saat ini, dan juga para tokoh yang konon ditokohkan. Entahlah siapa yang menokohkan, lalu difigurkan dipanggung publik, di elu-elukan, sebagai tokoh besar yang seolah-olah mampu mengatasi segalanya. Apakah karena kemuliaan sifat-sifat dewata yang meresapi benar-benar bervibrasi suci ?. Entahlah apa hanya bertopeng dewata, membungkus rapi sifat-sifat asura, sebagai strategi taktik untuk menguasai. Bagaikan Rahwana yang mengubah wujudnya menjadi Pendeta Suci, mengolok-olok Dewi Sitha yang sedang sendirian, ditinggal mengejar Kijang Emas, merupakan strategi manipulasinya.
Membelokkan dan mengubur sejarah masa lalu, membentur-benturkan nilai-nilai luhur budaya, mengukuhkan diri dan berjubah sebagai “orang suci”, dengan segala taktiknya berkedok membela rakyat. Justru membenturkan dan menistakan nilai-nilai luhur peradaban bangsa, bersuara lantang, berkarakter keras, benar-benar mencirikan keasuraannya. Mencoba berlindung dan berteriak atas nama orang suci, berkedok membela ajaranannya.
Pergolakan kedua sifat itu merefleksikan tanda dan prilaku yang dapat disaksikan kebenarannya. Walaupun mengetahui dan merasakan serta penyadaran diri dari dampak baik dan buruk perbuatan itu sendiri. Rakyat lebih banyak hanyalah dapat “menyaksikan”, walaupun sesungguhnya amat pahit dan meresahkan, menjadi jeritan dan obrolan kritis dimana-mana. Tetapi belum mampu menyentuh dan mengubah nasib. Entahlah sampai kapan kesabaran dalam doa mesti dikumandangkan, menghadirkan sifat-sifat keilahian dharma yang berpihak.
Walaupun demikian alam pasti mendengarkan, karena penguasa alam maha mendengar. Diantara semua itu banyak yang telah berjuang berat, menegakkan dharma dalam berbagai profesi beserta segala tantangannya. Pada sisi yang lain banyak sekali yang berjuang, agar bisa menempatkan dirinya sebagai wakil, tetapi setelah menempati posisi tertentu, justru banyak yang gagal larut tenggelam dalam lumpur kenistaan yang justru lebih menyengsarakan rakyat. Akibatnya penderitaan “rakyat hanyalah di atas namakan saja”.
Keunggulan upaya merujuk nilai-nilai yang merefleksikan sifat-sifat Ilahi kedewataan, berharap mencapai perubahan yang mensejahterakan dan mendamaikan, menjadi “kemenangan yang mendamaikan”. Medan Kurusetra yang dihadapi adalah pengukuh berat sifat-sifat asura, yang bertopeng dewata, amat cerdas berkata-kata bijak, keilahian tetapi hanya mementingkan hawa napsu indriya-indriyanya saja.
Gemuruh realitas ini mengakibatkan betapa sulit mencapai kemenangan yang mendamaikan itu. Menjadikan “kemenangan yang menghancurkan”. Artinya menang di atas kehancuran nilai-nilai esensi kehidupan yang pondamental. Kehancuran moralitas yang mengakibatkan rasa tak pernah puas ingin menghancurkan orang lain, walaupun bel telah berbunyi yang menandai ronde-ronde telah berakhir.
Reaksi ini telah menjadikan pertarungan brutal tanpa kendali wasit etika kesopan santunan. Ternyata lebih sportif ketika kita melihat seekor kucing dan anjing bertarung, selalu berhadap-hadapan, sama-sama ingin menyerang dari depan, menemukan celah untuk menerkam dan menggigit. Setelah sama-sama lelah mereka berhenti tanpa ada yang mengomando. Lalu beristirahat tanpa dendam, melakukan tugas kewajibannya masing-masing.
Tetapi insan-insan cerdas dalam pergulatan demi pergulatan politik dalam setiap kompetisi, untuk mencapai kemenangan, selalu diributkan oleh taktik-taktik “kebohongan” yang menciptakan kecurigaan dan berproses mencari keadilan hukum, di tengah-tengah kekaburannya sendiri. Itu artinya menjauhkan diri dari jiwa-jiwa sportifitas dan aturan permainan yang menjadi standar kebenaran bersama. Akibatnya memuluskan manipulasi dan mengkonstruksi kebohongan menjadikan “kebohongan yang menang”.
Akibatnya menimbulkan “gunung kecurigaan”. Refleksi dari kebohongan yang sama, dalam kualitas dan presentase yang berbeda-beda. Lalu tuding menuding, menjadi konflik berkepanjangan diatara para pembohong, yang merasa benar. Akibat tak mampu membebaskan diri dari kebohongan, karena ditutup rapat-rapat, lalu menuding dan menumpahkan bau busuk kebohongan itu kepada orang lain yang tak tahu urusan.
Pahala kebohongan ini berakibat memburukkan dan menghancurkan dirinya, memburamkan atmosfir kenyamanan sosial serta alam semesta.
Memaksakan terus mengaburkan kebenaran, akibatnya semakin terbuka kebohongan itu sendiri. Bagaikan bola beton menutup lobang lumpur Lapindo, tetap saja lumpurnya semakin deras, walaupun ditutup tanpa pemberitaan. Beritanya hilang lumpurnya terus meluber. Tidak mau menyelesaikan masalah “kebohongan” dengan baik akibat menjadi kebohongan yang berkepanjangan, yang menenggelamkan jiwa-jiwa ke dalam neraka dunia. Itu artinya tak sadar pada akibat dari kebohongan, lalu terus mengembangkan kebohongan, hingga batas waktunya tiba.
Suasana itu justru menjadi viral, untuk mendulang rupiah melahirkan penggoreng-penggoreng yang handal. Merasa cerdas, karena mampu mentololkan orang, yang sesungguhnya mentololkan dirinya sendiri. Karena kecerdasannya tak tersambung dengan nilai-nilai etika dan energi suci, yang berguna untuk bangsa dan negara, hingga melahirkan kemarahan dan kejengkelan saja. Akibatnya kecerdasan yang disumbangkan tak dapat mengatasi kebohongan para pembohong, justru memperpanjang kebohongan. Keberadaannya justru memperoleh panggung yang baik, entah misi apa yang diembannya. Oleh karena itu betapa sulitnya menjernihkan masalah yang dapat mencapai “kemenangan dalam rasa damai”, dalam kontaminasi gelap pekat sifat-sifat keasuraan ini.
Dalam kondisi seperti ini, hanyalah doa-doa suci melalui puja yang benar-benar tulus kepada Yang Maha Kuasa adalah prilaku menembus kegelapan mencapai kecemerlangan. Prilaku ini sudah semestinya merupakan perjuangan setiap insan, menyempurnakan diri di tengah-tengah kegelapan jaman. Menyiapkan diri menyongsong, melayani kehadiran sifat dan kuasa-Nya yang maha suci menegakkan dharma. Sesuai wejangan dan sabda suci-Nya yang ditulis orang suci yang telah dimuliakan, hingga akhirnya bisa menjadi “KEMENANGAN BERSAMA YANG MENDAMAIKAN” *** CMN. Semoga Menjadi Renungan, Rahayu.
Facebook Comments