
“AURA KASIH”
“PAGER WESI” (Menancapkan Pancung-Pancung Kebajikan, Mencapai Tujuan Hidup)
Oleh: I Ketut Murdana (Rebo, 12 Pebruari 2025).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Bagaikan “berpagar besi” seperti itulah nasahat leluhur, agar insan-insan duniawi, siap menjaga, membangkitkan, mewujudkan martabat dan kehormatan diri dalam prilaku hidup, memaknai kehidupan di dunia ini. Untuk mengingat, membiasakan dan memaknai konsepsi kebenaran itu, dilakukan ketetapan melalui hari suci, disertai ritual yang disebut Rebo Keliwon Pager Wesi. Saat ini dimaknai dan diyakini sebagai upaya dan pemuliaan Sat Guru yang disebut Pramesti Guru, tiada lain adalah “DIA” yang tunggal. Guru yang Maha Utama yang selalu mengalirkan pengetahuan, menuntun umat manusia. Karena manusialah sebagai makhluk utama yang memiliki Tri Pramana, berbeda dengan makhluk lainnya.
Walaupun demikian ketiga pramana itu memerlukan edukasi dan pendewasaan yang sungguh-sungguh agar menjadi kesadaran yang bergerak mencapai kebergunaannya. Artinya, kesadaran yang selalu berinteraksi, penyelarasan dengan ketidaksadaran mencapai harmoni. Bagaikan memasak ikan amisnya akan dirasakan terlebih dahulu. Kecerdasan mengolah bumbu, teknik mematangkan hingga menjadi jenis masakan enak merangsang air liur, yang menyehatkan.
Tak mudah mewujudkan kebenaran itu, karena selalu berinteraksi antara semua unsur jiwa, dengan kehidupan sosial, status sosial, multi karakter, dimensi pengetahuan, dan lingkungan alam semesta. Oleh karena demikian luas, meliputi kesadaran indrawi dan tak terindrawi, menjadi misteri panjang kehidupan yang perlu diterjemahkan. Artinya, menembus misteri menemukan realitas duniawi yang menjadi kebutuhan hidup jasmani dan rohani.
Harapan terhadap kebenaran yang seimbang agar bisa menjadi kesatuan tunggal yang disebut mencapai kehidupan sejati itu. Sudah menjadi wacana serta bumbu-bumbu pemanis dalam berbagai gelar wacana dan diskusi. Sesungguhnya karena kedua unsur (jasmani dan rohani) itu adalah esensi vital yang mesti terus berproses menuju penyempurnaan mencapai kesatuang tunggal.
Dalam pemahaman dasar, badan jasmani telah siap dan terkendali kesucian spiritual untuk mengabdi kepada dharma atas kuasa para dharma di bumi. Berproses ke arah esensi inilah sesungguhnya tak mudah dan bergulir panjang sepanjang waktu yang diberkati. Entahlah bisa mencapai tujuan atau belum, maka jawaban dari kasih-Nya, adalah melalui reinkarnasi kembali ke dunia memperbaiki dalam wujud jasmani yang baru. Entahlah tempatnya di mana, tentu itu merupakan pahala dari anugrah-Nya.
Kesadaran penyempurnaan dalam realitas dinamika kosmologis, fisika dan metafisika itu, dipahami melalui putaran waktu (Kalpa), menempatkan prilaku bersimbiose dengan karakter jaman (Kalpa). Dalam dinamika simbiosis ini, kekuatan iman, pikiran dan prilaku menentukan. Bagaikan perahu berlayar di lautan. Apakah badai dan gelombang laut bisa terlewati. Inilah analogi fisik yang terindrawi memasuki dunia metafisika yang serba misteri. Misteri itu berada di dalam diri dan terbentang maha luas tak terjangkau di alam semesta. Upaya dan gerak prilaku penyadaran ini menempatkan agar tubuh jasmani siap sebagai wadah (vrata jnana), hingga saatnya diberkati “anugrah penyempurna”.
Dalam menghadapi bentangan misteri atau masalah inilah sesungguhnya “kewajiban kesadaran bersatu” menjadi prilaku penancapan pancung-pancung kebajikan atau disebut panji-panji suci yang menandai dan membentengi iman menuju penyempurnaan. Agar iman dan prilaku karma penyempurnaan, selalu tegar dan kokoh menghempas badai penghalang. Bagaikan kokoh berpagar besi, walaupun besi bisa hancur karena karatan, sebagai hukum alam (uttpeti, stiti dan pralina).
Tetapi itu adalah analogi spirit untuk mengkonstruksi mencapai tujuan hidup sejati. Ketika ritual dimaknai dan dilaksanakan sebagai proses, maka sejauhmana kebesaran dan kekuatan iman akan terasa kebenarannya. Artinya, hempasan aneka badai menjadi pengalaman spiritual, menjadi pengetahuan dan filsafat hidup yang membahagiakan.
Ketika itu pagar-pagar besi sebagai benteng keimanan yang ditancapkan dalam setiap langkah, benar-benar menjadi penguat mencapai “kemenangan”, yang membahagiakan tahap demi tahap, hingga batas waktu yang tersedia telah habis. Itulah edukasi sepanjang hayat, bersamaan dengan pengetahuan bermisteri, sebagai sahabat dan partner mencapai “kemenangan” dalam penyempurnaan. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments