“AURA KASIH”
“KUASA ASURA”
Oleh: I Ketut Murdana (Kemis, 16 Januari 2025).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Vibrasi nilai-nilai kebajikan yang selalu diburamkan oleh taburan debu ragam isu, intrik, penghinaan, cacian, dan perangkat intimidasi, tuding menuding, tuduhan buruk bergulir terus. Semua itu bagaikan banjir lumpur got perkotaan mengalir berbau busuk yang menyengat hidung. Seperti itulah peran tubuh jasmani bila digunakan mengkonstruksi dan mengalirkan bau busuk. Mencirikan jiwa dikuasai amarah nan emosional tak terkendali. Akibatnya menimbulkan arus balik yang menampar tambah mengotori tubuh jasmani dan rohani.
Ketika menuduh semestinya diawali bukti-bukti lalu diserahkan kepada pihak yang berwajib untuk menyelesaikan. Agar tuduhan itu tak berbasis pertengkaran pribadi atau kelompok. Hingga siap tidak siap bila bersalah harus dipertanggungjawabkan. Agar tak bervibrasi buruk kepada masyarakat luas. Sadar dan selalu tunduk terhadap negara hukum. Walaupun pada sisi yang lain keadilan itu amatlah mahal, akibat “permainan” tak sehat, tetapi yakinlah ketika sudah benar, pasti terlindungi oleh kekuatan suci yang ‘Maha Adil’ dalam berbagai wujudnya.
Persoalan ini seringkali tak terhubung diantara prilaku penegak hukum duniawi dan hukum semesta yang maha adil. Tetapi keadilan semesta tak pernah salah arah dan sasarannya, tetapi sulit juga diyakini dan disadari oleh insan duniawi saat ini. Akibat selalu bermain-main, mencari celah kelemahan hukum, mempercayai taktik kebohongannya. Entahlah penyebab dari kontruksi gelap semua itu, karena kecewa akibat harapannya tak terpenuhi, atau terpinggirkan karena merasa bisa, tetapi tak bisa melakukan kerja yang baik dan jujur serta sejalan dengan alur narasi birokrasi.
Akibatnya menjadi amarah dan dendam tak terkendali. Berbalik tumbuh menjadi kebencian yang memuncak. Saat itulah kemurnian jiwa dikuasai asura. Akibatnya berubah dari kecerdasan intelektual dikuasai politik asura, amat cepat menurunkan derajat martabat manusia. Merefleksikan kesenangan dan bangga memproduksi kebencian, melontar terus tiada henti. Sadar tak sadar tubuh jasmani menjadi wahana kebencian, memburukkan aura bijak esensi kemanusiaannya.
Atmosfir berdebu ini sedang melanda bumi pertiwi Nusantara tempat hidup bersama yang kita cintai. Taburan debu yang menggelapkan awan oleh insan tokoh yang konon religius itu, cukup membingungkan dan meresahkan. Walaupun pada sisi yang lain bisa juga membangkitkan kesadaran dan semangat membersihkan Ibu Pertiwi Nusantara dari lumpur dan kabut gelap kotoran asura itu sendiri. Merangsang, membangkitksn dan memberi kesempatan insan-insan bijak, penuh kesadaran melakukan pelayanan kepada dharma.
Harapan hadirnya insan-insan sadar nan bijak pada realitas ini, melalui doa bersama memohon energi suci pembangkit semangat membangun kebajikan, menguatkan nilai-nilai luhur budaya Nusantara. Saat ini terang terangan mau mengobrak abrik, oleh penjajah asura berkedok spiritual, mengatas namakan rakyat dan kesucian ajaran. Pada sisi yang menjerat melalui dogma-dogma pembodohan yang berkepanjangan. Demikianpula ingin merebut sumber daya alam Pertiwi Nusantara dengan berbagai cara.
Memaknai realitas ini menampakkan betapa nilai-nilai kebajikan nan religius itu belum mampu meresapi oknum insan-insan cerdas, yang seharusnya bisa memberi kebajikan kepada bangsa dan negara, menguatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, justru merongrong kemajuan bangsa sendiri, menjelek-jelekan dihadapan bangsa asing yang syarat kepentingan. Itu artinya cara berpikir cerdas, tidak dijiwai kebijaksanaan dan nasionalisme. Tetapi dijiwai politik asura yang hanya ingin mencapai kemenangan dan kekuasaan material duniawi saja.
Ketika praktik-praktik kejahatan dan strategi manipulasinya terungkap, yang digerakkan oleh energi suci semesta, kepada orang-orang yang “diberkati” menjadi tokoh yang berperan, maka politik dimainkan untuk menghindar dengan isu kriminalisasi bermuatan politik, memang Sangkhuni dengan akal liciknya tampak menang di awal. Barangkali dasar pola pikir dan kepekaan rasa kesantunannya selalu dijiwai oleh politik-politik dan politik berjiwa asura menjauhkan diri dari kebajikan.
Dapatkan manusia menjauh dari kebajikan, tentu jawabannya adalah renungan personal tentang manusia adalah makhluk religius hingga menjadi insan sadar dan disadarkan oleh pengetahuan suci. Menjadi hukum sebab akibat (Karma Phala) yang tak bisa dihindari oleh siapapun. Walaupun jeratan hukum duniawi bisa dimainkan dan menyelamatkan. Tentu itu hanya bersifat sementara saja, dibalik itu juga bekerja hukum semesta yang maha adil, yang selalu mengampuni untuk dimurnikan, tetapi apabila tak bisa diperbaiki maka hukuman terjadi dengan sendiri, merupakan wujud keadilan-Nya. Ketika setiap insan sadar hidup di bumi, maka hukum semesta tak terlupakan lalu bekerja sesuai aturan-Nya. Akibat semua itu kesejahteraan dan kedamaian negeri pasti terjadi. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments