October 25, 2024
News

Pangempon Pura Bhatara Katon Buleleng Gelar Upacara Mapinton Pratima Ida Bhatara Katon di Pura Topeng Sanur, Simbol Bersatunya Kekuatan Spirit Bali Utara dan Bali Selatan

DENPASAR (CAHAYAMASNEWS.COM). Bertepatan pada rahina Buda Kliwon Ugu (Rabu 12/6/2024) Prajuru dan Pangempon Pura Bhatara Katon, Desa Adat Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng melaksanakan upacara Mapiton Pratima Ida Bhatara Katon di Pura Topeng, Banjar Buruwan, Sanur, Denpasar, bertepatan dengan upacara piodalan di pura setempat. Hal ini merupakan symbol bersatunya kekuatan spirit Bali Utara dan Bali Selatan. Konon, Ida Bhatara Katon di Desa Adat Bulian memiliki keterkaitan hubungan spiritual yang erat dengan Ida Bhatara yang berstana di Pura Topeng. Bagaimana kisah selengkapnya? Berikut penjelasan Panglingsir sekaligus Kelian Pura Bhatara Katon, I Gede Suardana Putra.

Diceritakan; Pada zaman dahulu kala ada sebuah mitos yang kebenarannya sampai saat ini diyakini dan dipercaya oleh masyarakat. Konon, hiduplah seorang tokoh masyarakat yang menjadi Ulu Desa Adat (Jro Prawayah) di sebuah desa di Bali Utara, tepatnya di Desa Adat Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.

Jro Prawayah merupakan Sameton Tembau (Pratisentana Arya Wang Bang Pinatih) dan memiliki putri bernama Ni Luh Sriminah yang dikenal sangat cantik dan rajin bekerja membantu ayahnya merawat tegalan (kebun-red). Pada suatu hari, Ni Luh Sriminah pergi sendiri ke tegalan mencari bahan-bahan untuk memasak, seperti kayu bakar, sayur-mayur, cabai, dan lainnya.  Kebetulan kala itu cuaca begitu menyengat, karena Sang Surya bersinar begitu teriknya, membuat Ni Luh Sriminah merasakan haus. Sementara itu, karena terburu-buru Ni Luh Sriminah lupa membawa perbekalan air dari rumahnya. Tak hayal Ni Luh Sriminah bingung mencari air untuk menghilangkan rasa dahaganya itu.

Di tengah kondisi badannya yang mulai lemah akibat rasa haus itu, tak menyurutkan semangatnya untuk berusaha sekuat tenaganya mencari air di sekitar tegalannya itu. Akhirnya usahanya itu membuahkan hasil, tiba-tiba Ni Luh Sriminah menemukan air di dalam celebungkakan (bekas potongan buah kelapa yang sudah diambil isinya-red), yang berisi kecebong atau calon anak katak alias becing-becing (bahasa Bali).

Namun, karena tak kuasa menahan haus, maka begitu melihat ada air di hadapannya, Ni Luh Sriminah tak berpikir panjang lagi, air itu diambil dan langsung diminumnya tanpa lagi mempedulikan kondisi air tersebut.  Di benak Ni Luh Sriminah, bahwa air itu merupakan anugerah Tuhan yang luar biasa untuk mengobati/menghilangkan rasa hausnya.

Namun seiring berjalannya waktu, keanehan dan atau keajaiban pun terjadi. Dimana perut Ni Luh Sriminah kian hari semakin membesar layaknya wanita yang sedang hamil. Menghadapai kenyataan itu dan karena saking malunya, Jro Prawayah sebagai tokoh masyarakat (Ulu Desa Adat) memiliki anak perempuan hamil tanpa ada suami atau hamil di luar nikah, akhirnya oleh Jro Prawayah, Ni Luh Sriminah diasingkan dan dibuatkan sebuah gubuk sederhana dengan lampu penerangan dengan sinar yang sangat minim alias remang-remang. Namun demikian, Jro Prawayah selalu mengawasi dan memastikan keamanan dan keselamatan putrinya.

Sejak saat itu, berbagai keanehan mewarnai kehidupan keluarga Jro Prawayah. Suatu malam saat mengecek kondisi putrinya, Jro Prawayah mendengar sebuah percakapan anaknya tengah berbincang dengan seseorang di dalam gubuk itu, padahal Ni Luh Sriminah tinggal sendirian. Keanehan itu tak pelak mengundang pertanyaan dan rasa penasaran Jro Prawayah. Di sinilah keteguhan keimanan Jro Prawayah diuji, karena dihadapkan antara aib dan anugerah.

Akhirnya lanjut Kelian I Gede Suardana Putra, setelah menunggu 42 hari, Ni Luh Sriminah pun bersalin (melahirkan) seorang bayi laki-laki. Tak berhenti sampai di sana, berbagai keanehan dan keajaiban pun kerap melanda keharmonisan keluarga Jro Prawayah. Dimana, kelahiran bayi itu tidak seperti kelahiran bayi pada umumnya yang lahir melalui Prana (alat kelamin-red), melainkan lahir melalui pusar ibunya.

Setelah lahir, bayi itupun diupacarai dengan upacara lengkap seperti upacara kelahiran bayi pada umumnya yakni upacara tiga bulanan, otonan, dan upacara lainnya sesuai adat tradisi yang berlaku di Desa Adat Bulian saat itu. Seiring berjalannya waktu, bayi tersebut pun tumbuh dengan sehat tak kurang sesuatu apa pun, dan tak terasa telah berumur kurang lebih 7 tahun. Di Desa Adat Bulian saat itu ada tradisi yang rutin dilakukan. Dimana, Krama Desa Linggih yang berjumlah 30 orang termasuk Jro Pasek Bulian, setiap rahina Purnama dan Tilem selalu melaksanakan Sangkep (paruman-red) di dua pura yakni di Pura Bale Agung dan Pura Dalem Purwa di wewidangan Desa Adat Bulian.

Yang mana pada saat hari Purnama, Krama Desa Linggih melaksanakan Sangkepan di Pura Bale Agung dan berlaku aturan tidak boleh membicarakan dan atau membahas sesuatu yang bersifat program, baik ngodalin ataupun perbaikan pura dan lainnya, melainkan hanya mecacak (absen kehadiran-red) dan menyampaikan duwe pura berupa uang. Sedangkan setiap rahina Tilem, Sangkepan dilaksanakan di Pura Dalem dan di sini krama baru boleh membicarakan rencana pembangunan dan lainnya.

Selaku tokoh masyarakat Jro Prawayah selalu hadir dalam paruman tersebut, dan anak itu (cucunya) selalu ikut. Anehnya, anak itu (Bhatara Katon kecil-red) tidak mau duduk di posisi tengah atau di belakang, melainkan selalu minta duduk di hulu (depan) padahal di sana ada aturan, bahwa yang boleh duduk di hulu hanya Jro Prawayah dan paruman itu tidak boleh diikuti selain Krama Desa Linggih yang jumlahnya 30 orang saat itu termasuk Jro Pasek.

Sementara anak itu selalu duduk di hulu dan dianggap telah melanggar aturan tersebut yang akhirnya membuat Jro Pasek Duka (marah-red), karena sesuai aturan selain Hulu Desa Adat tidak boleh ada yang duduk di hulu. Namun anak tersebut tetap bersikeras duduk di hulu, karena sesungguhnya anak tersebut bukanlah manusia biasa dan memiliki vibrasi yang luar biasa. Anak ini nantinya akan menjadi pendamping dan penasehat daripada Krama Desa Linggih dalam melaksanakan kewajiban menjaga tatanan kehidupan ber-adat di Desa Adat Bulian. Inilah yang tidak diketahui. Namun sayangnya Jro Pasek tidak pernah menyadari kekuatan dan potensi yang ada pada diri anak tersebut. Hal itu dibuktikan dan dikuatkan, dari proses kelahirannya saja berbeda dengan kelahiran bayi pada umumnya.

Akhirnya, karena setiap paruman selalu dilarang duduk di hulu (depan), marahlah anak tersebut sembari menyuruh Jro Pasek untuk membuatkan gembongan (lubang berbentuk segi empat memanjang di dalamnya diisi ijuk sebanyak 30 ikat) yang nantinya digunakan sebagai tempat Melabuh Geni (menceburkan diri ke dalam api) untuk nyihnayang raga (membuktikan diri) bahwasannya dirinya bukanlah manusia biasa.

Akhirnya, karena jengah bercampur penasaran, Jro Pasek pun mengabulkan permintaan anak tersebut dan menyuruh Krama Desa Linggih mengumpulkan ijuk dan masing-masing krama membawa satu ikat, sehingga terkumpul 30 ikat ijuk.  Sampai akhirnya pada hari yang telah ditentukan, Krama Desa Linggih berduyun membawa duk jaka (ijuk) untuk membuat gembongan. Setelah semuanya siap, gembongan itu pun disulut dan api pun mulai membesar. Setelah ijuk itu dibakar dan muncul api unggun, lalu di situlah anak tersebut menceburkan diri untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah manusia biasa.

Namun, sebelum terjun ke tengah gembongan itu, anak tersebut yang sesungguhnya adalah Bhatara Nyekala, bersabda sekaligus memastu (mengutuk-red). Dimana, intinya bahwa akibat tindakannya itu Krama Desa Linggih dan seketurunannya tidak akan menemukan keharmonisan dan kebahagiaan, melainkan akan selalu berkonplik dengan keluarga sehingga tidak pernah bisa akur atau harmonis. Masalah sepele akan menjadi besar dan bahkan berujung pada pertikaian.

 

Penyadaran Diri yang Terlambat Bagai Nasi Telah Menjadi Bubur

Begitu selesai memberi kutukan, anak tersebut pun lantas menceburkan diri ke dalam api yang sangat besar itu. Sejurus itu, keanehan dan keajaiban pun terjadi, semua yang hadir dibuat tercengang seraya tidak percaya, bagaimana anak itu tidak terbakar sama sekali seraya terbang bersama asap api gembongan tersebut, sampai akhirnya anak tersebut menghilang meniti asap. Awalnya dari gembongan itu asapnya mendatar dan setelah sampai di lokasi Pura Maja Ghana sekarang, asap itu pun tegak lurus seraya menghilang ditelan langit.

Setelah kejadian itu Krama Desa Linggih baru menyadari bahwasannya anak tersebut adalah sesungguhnya perwujudan Ida Bhatara yang lahir ke dunia untuk menguji kesungguhan Krama Desa Linggih untuk menjaga tatanan kawasan wilayah yang menjadi benteng pertahanan, tempat pemungutan cukai masuk yang disetor ke kerajaan pusat dan Desa Adat Bulian adalah tempat peristirahatan tiga raja pandita Bali Kuno setelah purna tugas.

Sementara begitu menyaksikan peristiwa itu, Ni Luh Sriminah memutuskan ikut Mesatya Melabuh Geni menceburkan diri ke dalam api tersebut dan akhirnya hangus terbakar menjadi abu. Kemudian sejak saat itu, Krama Desa Linggih meyakini dan menyadari bahwa anak itu adalah perwujudan Bhatara Katon (Bhatara yang nyekala atau kelihatan) dan sampai sekarang menyebut dengan nama Ida Bhatara Katon. Akhirnya masyarakat pun baru percaya disertai rasa penyesalan. Namun apalah daya, seperti pepatah ‘Nasi sudah menjadi Bubur’ tak akan bisa dikembalikan lagi dan hanya menyisakan rasa penyesalan.

Kutukan itupun terbukti, tidak hanya berpengaruh terhadap Krama Desa Linggih saja, namun juga berdampak kepada krama desa di luar Krama Desa Linggih. Yang mana, krama tidak pernah bisa akur/harmonis, melainkan kerap terjadi perselisihan yang dipicu oleh persoalan sepele, bahkan tak jarang sampai puik (memutus hubungan kekeluargaan).

Setelah sekian abad peristiwa aneh dan ajaib itu berlalu, lanjut Gede Suardana Putra, akhirnya pada tahun 1962 Sameton Tembau (Pratisentana Arya Wang Bang Pinatih) tiba-tiba menemukan tulang belulang yang sudah menjadi abu, namun masih sangat jelas dilihat warna putihnya, dan juga sisa-sisa sarana yang digunakan membuat api tersebut seperti ijuk dan danyuh (daun kelapa kering-red) ditemukan masih utuh di areal di bawah Pura Bhatara Katon sekarang, saat menggali tanah untuk membuat Pura Kawitan. Tulang yang sudah menjadi abu itu, kali pertama ditemukan oleh Jro Mangku Wayan Suta dan saksi yang ikut saat itu adalah I Nengah Sumasta (almarhum).

“Kemudian krama menyimpulkan dan meyakini bahwa penemuannya itu tiada lain adalah abunya Ni Luh Sriminah yang konon di tempat itulah melabuh geni mengikuti jejak anaknya yang lebih dahulu melabuh geni nyihnayang raga dan lenyap bersama asap api suci tersebut,” ujarnya. Lebih lanjut I Gede Suardana Putra menjelaskan, pasca ditemukannya abu dan sisa-sisa sarana membuat api gembongan tersebut dan kutukan itu terbukti, selanjutnya oleh orang tuanya yang saat itu menjabat sebagai Jro Prawayah (Jro Prawayah Nengah Sumerada) I Gede Suardana Putra disuruh menanyakan ke sejumlah tokoh spiritual dan orang pintar prihal apa yang harus dilakukan terhadap penemuan tersebut, apakah perlu diaben atau bagaimana, termasuk bagaimana caranya mengakhiri daripada kutukan tersebut.

Setelah berusaha menanyakan ke sejumlah tokoh spiritual, akhirnya bertemu dengan Jro Mangku Made Suyatna Wiguna (almarhum) yang kebetulan datang ke Desa Adat Bulian bersama rombongan para bhakta Provinsi Bali melaksanakan Upacara Peneduh Jagat pada rahina Buda Umanis Julungwangi tanggal 15 Oktober tahun 1994 di Pura Banua, Desa Adat Bulian, dengan sarana kambing hitam dan Bagia Pulakerti (kambing hitam dihaturkan di Pura Banua, dan Bagia Pulakerti-nya dihaturkan pukul 24.00, Wita di Jurang Pingit yang merupakan Payogan Ida Bhatara Ratu Hyang Pingit.

Pada saat itulah kemudian Jro Mangku Made Suyatna Wiguna memberikan petunjuk dan saran, bahwa abu itu tidaklah perlu diaben (dibuatkan upacara pengabenan), mengingat beliau (Ni Luh Sriminah) meninggal karena mesatya melabuh geni api suci (menceburkan diri ke dalam api suci), melainkan menyarankan untuk membangun palinggih sebagai stana linggih beliau, sekaligus untuk menghormati pengorbanan beliau. Nantinya di palinggih tersebut krama desa disuruh memohon pengampunan (maaf), agar Pastu Beliau tidak berlanjut ke generasi secara turun-temurun. Disamping itu yang tak kalah pentingnya adalah untuk menyudahi kutukan itu, krama disarankan untuk membuat atau menghaturkan upacara banten Guru Piduka dan Bendu Piduka.

Akhirnya pada tanggal 20 Mei tahun 2000, dilaksanakan paruman di balai desa mengundang banyak tokoh (dari tokoh adat, dinas, dan generasi muda). Kemudian ada 11 tokoh yang berbicara dan meyakini, bahwa cerita itu memang ada dan kutukan tersebut banyak yang membuktikan kebenarannya, sehingga dalam paruman itu krama sepakat untuk membangun palinggih beliau. Selanjutnya pada bulan Juli tahun 2000 pembangunan mulai dilaksanakan. Selama proses pembangunan dana punia mengalir hingga pembangunan itu bisa diselesaikan. Seiring berjalannya waktu ada petunjuk untuk mendak Ida Bhatara Katon di Pura Topeng, Banjar Buruwan, Sanur, Denpasar.

Lebih jauh Kelian Pura Bhatara Katon I Gede Suardana Putra menceritakan, konon Ida Bhatara Katon memiliki hubungan dengan Ida Bhatara di Pura Topeng. Dimana Ida Bhatara Katon diyakini adalah okan (anak) dari Ida Bhatara yang berstana di Pura Topeng. “Diyakini air yang diminum oleh Ni Luh Sriminah itu adalah warih (air kencing-red) Ida Bhatara di Pura Topeng saat melanglang bhuana (melakukan perjalanan) ke Desa Adat Bulian dan sempat buang air kecil di celebungkakan yang kemudian diminum oleh Ni Luh Sriminah hingga menyebabkan hamil dan memiliki anak yang kemudian Mapesengan Ida Bhatara Katon yang menjadi sungsungan krama kami,” imbuhnya.

Selanjutnya, pada Mei 2024 krama sepakat membuat Pratima Ida Bhatara Katon dan sekaligus dilakukan upacara pasupati pada rahina Redite Paing Wuku Ugu Pinanggal Ping Tiga, Sasih Mala Sada, Beteng Aryang tanggal 9 Juni 2024 pada pukul 10.00 Wita, Pratima itu dipasupati oleh tiga Jro Mangku di antaranya; Jro Mangku Gede Widiada, Gede Kandia, dan Ketut Sumarka) disaksikan oleh Prajuru Pura Ida Bhatara Katon, krama, dan Ibu Jro Mangku Gede Istri Pasek Bendesa Mas (Luh Putu Hariani) dari Banjar Abasan, Singapadu, Gianyar dan Jro Luh Gede Rosmala Dewi dari Guliang Taman Bali, Bangli, serta suaminya Dewa Putu Hariyasa yang maturan/mapunia Pratima tersebut.

Selanjutnya bertepatan hari piodalan di Pura Topeng, di Banjar Buruwan, Sanur, Denpasar pada rahina Buda Kliwon Ugu (Rabu 12/6/2024) dilaksanakan upacara nangkilang sekaligus mapinton Pratima Ida Bhatara Katon dipimpin langsung oleh I Gede Suardana Putra selaku Kelian Pura Bhatara Katon. Sebelumnya rombongan berkesempatan mengikuti semua rangkaian upacara piodalan, mulai Ida Sang Sulinggih mapuja, Ida Bhatara Topeng (Prerai) masolah sekaligus ngaturang sembah bakti (sembahyang bersama) nunas waranugraha Ida Bhatara-Bhatari yang berstana di Pura Topeng tersebut. Setelah semuanya selesai, rombongan mapamit mundut Ida Bhatara Katon kembali ke Desa Adat Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng yang selanjutnya dilinggihkan di Pura Ida Bhatara Katon.

Sementara salah satu prajuru/pengempon Pura Topeng, I Nyoman Mertayasa menjelaskan, bahwasannya Pura Topeng ini diempon oleh 10 KK, dan selaku panglingsir adalah Wayan Sadia. Sampai saat ini para tetua pangempon Pura Topeng mewariskan 24 prerai yang saat ini disungsung dan dilestarikan serta disakralkan oleh pangempon. *** CMN=Tim/Andiawan.

Facebook Comments

error: Content is protected !!