![](https://cahayamasnews.com/wp-content/uploads/2024/11/73ec8f92-afb1-40f8-879e-0e2f7369f3ab-1140x620.jpg)
“AURA KASIH”
“KEMENANGAN”
Oleh: I Ketut Murdana (Jumat, 06 Desember 2024).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Kemenangan suara telah dicapai oleh para calon pemimpin bangsa, dengan “segala upaya dan strategi” untuk memenangkan. Kemenangan suara merupakan tahap awal bersuara tentang “kemenangan”. Selanjutnya memerlukan kelanjutan perjuangan mencapai cita-cita yang tidak ringan. Apakah kemenangan awal ini akan menjadi kemenangan yang mensejahterakan rakyat?. Dalam perspektif kemenangan ini dapat diartikan sebagai upaya kuat dan terus menerus, melindungi rakyat mewujudkan keadilan sesuai dasar negara dan undang-undang, melalui tahapan-tahapan strategi untuk mewujudkannya.
Dalam perjalanan sejarah menunjukkan bahwa masalah kenegaraan tidak bisa diselesaikan oleh satu atau dua pemimpin saja. Tetapi setiap pemimpin berupaya sekuat tenaga berjuang memenuhi kewajiban atas pilihan itu. Apabila upaya ini mencapai puncaknya, maka negara dan bangsa mencapai kemasyuran yang unggul. Apabila kewajiban itu disalah artikan, maka beresiko besar terhadap kepincangan sosial yang merusak pembangunan di segala bidang. Termasuk merosotnya moralitas tatanan nilai vital karakteristik suatu bangsa.
Berkenaan dengan itu, mengedukasi rakyat secara terstruktur dan terus menerus, agar tumbuh berjiwa kesatria mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan membangun bangsa mewujudkan masyarakat adil dan makmur, menjadi perjuangan yang terus menerus.
Saat proses inilah kekuatan asura amat besar, cerdas, halus bahkan tak terlihat sama sekali, selalu menentang dan ingin merobohkan. Demikian pula sebaliknya kekuatan Ilahi Dewata, apabila kesombongaan semakin angkuh dengan kemenangan, lalu menjadi sewenang-wenang, maka kesalahan ucap satu kalimatpun, dapat mendobrak membuka pintu mulainya kehancuran. Amat sulit menyadari realitas ini, akibatnya selalu menutupi dengan argumen-argumen menyalahkan yang lainnya.
Tentu satu kata itu bukan berdiri sendiri, pasti berantai dengan sebab dan akibat lainnya, bagaikan api dalam sekam. Saat itu pula energi suci pralina, merobohkan, hadir tanpa disadari, menyebabkan pelakunya los kontrol membuktikan ambruknya kesadaran. Kebesarannya bukan menguatkan kebijaksanaan, tetapi membesarkan keangkuhan dan kesombongan.
Lalu menuding yang lainnya selalu salah dan jahat. Bagaikan kapal tenggelam yang rusak akibat kurang kontrol, lalu menuding penumpangnya berlebihan Dalam kontek ini sangat kentara kemenangan suara yang besar dan kekuasaan yang besar tak berimbang dengan kebesaran jiwa-jiwa serta komitmen pengusungnya.
Karakter-karakter yang berambisi menjadi raja pemimpin bangsa seperti inilah yang lebih banyak hadir di jaman Kaliyuga seperti sekarang ini. Kekayaan material duniawi menjadi tujuan dan prioritas utama. Neraka penjara tidak lagi ditakuti sebagai penebusan dosa, justru menjadi tempat perhelatan bisnis dosa yang disuburkan. Kegelapan yang menggulung atmosfir kejiwaan ini, mengakibatkan kaburnya kebenaran dan kesucian, hingga menjadi pembenaran. Akibatnya kebenaran semakin kabur yang dikaburkan oleh cara memenangkan yang tak sehat dan benar
Apabila ada tokoh yang lebih berpihak kepada rakyat, terbuli dan terhina habis-habisan. Tidak ada orang berjiwa besar dan bijaksana menghina, membuli, melecehkan orang lain atau lawan politiknya. Karena menghina dan merendahkan orang lain, sesungguh menghina dan merendahkan kualitas moralitas dirinya sendiri. Tetapi realitas ini dianggap berani, digjaya dan dipandang sebagai pejuang di depan pendukungnya. Barangkali hanya tidak bisa memuaskan pimpinan kelompoknya saja.
Ketika melihat dinamika ini apa artinya “kemenangan”, apakah kepuasan kelompok atau kesejahteraan yang selalu didengungkan saat kampanye mendulang suara?. Persoalan besar ini dapat mengedukasi rakyat dalam arti luas dan berjenjang, menyempurnakan diri dalam kabut misteri duniawi. Akankah tersadarkan oleh realitas itu?, jawabannya sejauhmana kekuatan, kebesaran dan kesucian hati nurani mengendalikan sampan di lautan kegelapan jaman Kaliyuga ini.
Semuanya itu terisi dan meresap serta merefleksi akibat proses belajar yang tertuntun memahami serta meyakini keteraturan-Nya. Sadar berjuang menempatkan diri pada keteraturan itu sendiri adalah memuliakan kebesaran-Nya. Merefleksikan “kemulian” itu bagi siapa saja yang melakukan, mencapai kemenangan sesungguhnya yang patut dirayakan. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments