January 1, 2025
Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“ANUGRAH SANG WAKTU”

Oleh:  I Ketut Murdana (Minggu, 29 Desember 2024).

MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Kesempatan berkarma baik, merupakan anugrah Tuhan dalam wujud Sang Waktu, yang dijiwai pengetahuan suci. Disebut sebagai “anugrah” karena didalamnya terjadi energi suci dan edukasi “pemuliaan”. Dijiwai artinya jiwa-jiwa yang “disentuh dan tersentuh oleh kuasa kebajikan” itu sendiri, hingga esensi sifatnya yang suci merefleksi dan mendeterminasi dari yang Maha Suci, bangkit tumbuh berkembang menyinari setiap arah tujuan kehidupannya. Menyinari artinya tumbuh berkembang sebagai inspirasi yang menggerakkan langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan kebajikan mencapai kemuliaan hidup. Kebangkitan dan gelora sifat ini, memerlukan ruang, sahabat, serta penuntun mengantarkan serta proteksi maya yang memalsukan bahkan menghancurkan, karena memang demikian hakekat esensinya.

Berkenaan dengan realitas gerak psikologis itu, ada energi suci yang bangkit, dan ada energi negatif yang meredem, melemahkan, membelokkan dan menggagalkan. Gerak dan dinamika energi dualitas ini, akan dapat dirasakan reaksi pergerakannya saat berkarma. Di dalam kitab suci bhagawad-gita disebutkan menjadi filsafat tindakan. Itu artinya pengetahuan material dan pengetahuan suci yang menjiwai tindakan. Karena dalam tindakan terjadi konfigurasi penyatuan antara pikiran, perkataan dan perbuatan yang benar (Tri Kaya Parisudha). Jiwanya tiada lain adalah kesadaran pengabdian kepada-Nya, dalam menegakkan dharma di bumi. Menjadi kepentingan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua anugrah adalah proses mencapai penguatan kesadaran untuk mencapai puncak pengabdian itu sendiri, yang kini sedang mengalami erosi besar.

Disitulah Sri Krishna hadir hadir mengalirkan pengetahuan yang menuntun dan membebaskan keraguan Arjuna terhadap kewajibannya sebagai “kesatria” menuju “pencapaian kesatri sejati”. Kesatria adalah sifat heroik yang berjuang terus memperjuangkan kewajibannya.  Saat itu ketika meningkat menjadi kesatria sejati, Arjuna menghadapi keraguan besar terhadap medan perang atau pergulatan menuju arah kesejatian itu sendiri. Keraguan itu terjadi akibat keterikatan rasa persaudaraan dan rasa bhakti yang berhubungan dengan saudara-saudara dan juga kakek Bisma yang memposisikan prilakunya pada kekuasaan yang telah dikuasai oleh kesewenang-wenangan kuasa gelap asura.

Bisma tidak menyerahkan kewajiban besarnya kepada pelayanan kepada misi suci Sri Krishna. Tetapi lebih taat pada sumpahnya, dari berupaya merefleksikan nilai sumpah itu, untuk melayani misi Sang Penegak dharma itu sendiri. Dalam konteks itulah Sri Krishna membongkar detail sifat-sifat yang membelenggu lalu meluruskan arah dan cara berpikir bahwa bergulat memerangi sifat-sifat adharma yang melekat dalam dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya serta kakeknya itu. Lalu dipertegas oleh kehadiran darsan-Nya yang maha kuasa, meyakinkan sikap kepada abdi-Nya sendiri.

Semuanya itu merupakan upaya membebaskan sifat-sifat adharma, yang menguasai jiwa insan-insan duniawi, agar tercipta perubahan dan perbaikan yaitu tegaknya dharma di bumi mulai dari tegaknya kesadaran dharma dalam diri setiap orang. Sifat abdi dharma adalah berjuang memperjuangkan “kebenaran duniawi” dan “kebenaran sejati”. Agar insan duniawi bergerak sadar menuju kesempurnaannya masing-masing.

Penguatan dan pencerahan ke dua posisi dan hakekat dharma itulah yang disadarkan oleh kuasa Ilahi yang turun berwujud manusia mengemban misi suci, menegakkan dharma. Akibat restu dan anugrah dari kuasa itu Arjuna sebagai abdi dharma, walaupun memperoleh tugas amat berat, tetapi Sri Krishna selalu membuka rahasia kekuatan musuh, menasehati dan melindunginya, hingga semuanya menjadi ringan. Refleksi kebenarannya dapat dirasakan ketika bergerak melayani kewajiban dharma itu. Sekecil apapun wujudnya, bisa menjadi tangga penyempurnaan

Dalam kontek ini perang yang dimaksud adalah memerangi sifat-sifat adharma dengan berbagai karakternya yang meresap, mengikat dan membutakan keluhuran jiwa-jiwa yang suci, dalam diri setiap orang. Keberadaan sifat ini sebagai esensi dasar sifat kuasa-Nya, yang disebut kesadaran atman, menjadi Guru Penuntun dalam diri, hingga seseorang selalu bergerak di jalan dharma. Gambaran pengetahuan jasmani dan rohani yang multi dimensi dan ragam karakter, mesti ditembus dengan ketajaman pengetahuan suci dharma atas tuntunan keilahian-Nya yang membumi.

Membumi lebih diartikan sebagai kekuatan ilahi yang meresapinya. Realitas kebenaran inilah yang amat rahasia dan sulit dipahami oleh pikiran jasmaniah yang masih amat terbatas. Karena belum tersentuh dan disentuh kasih suci-Nya. Walaupun sesungguhnya dalam kesadaran dan pemuasan material telah sejahtera. Apabila diikat oleh rasa memiliki yang berlebihan, amat takut berbagi (maya) akibatnya semakin mengikatkan diri pada sifat kesementaraannya. Maka pluktuasi untung dan rugi, susah dan senang selalu bergelut dinamis di dalamnya.

Kondisi psikologis inilah yang menggelora di dunia material saat ini, menciptakan atau tercipta dari kuasa gelombang waktu (Kalpa). Tidak mudah menyadari dan keluar dari lingkaran gelap itu. Tetapi apabila menyadari realitas pergerakan itu, dan Sang Waktu pasti membuka peluang dan ruang edukasi, hingga mampu merasakan sentuhan kasih-Nya. Ketika sudah demikian proses penyempurnaan jiwa, membebaskan kebutaan rohani terjadi dengan sendirinya.

Artinya ketika memasuki proses dengan tulus ikhlas, Dia menjadi Guru sejati yang menggerakkan alam dan membebaskan jiwa-jiwa mencapai kedamaian abadi. Kesempatan edukasi itu hanya terjadi saat masih hidup di dunia ini. Itu artinya anugrah Sang Waktu memberi dan membatasi kesempatan itu, agar digunakan sebaik-baiknya. Bukan menggunakan untuk yang lain-lain, yang juga bisa memperpendek anugrah kesempatan itu, yang disebut mala petala. Hingga akhirnya hanya mohon anugrah mengulang-ulang kelahiran saja. Tergulung kegelapan maya, semakin menjauh dari kesadaran.

Tentu realitas ini bukan tujuan, tetapi berupaya menguatkan keyakinan dalam perjuangan (karma) agar terbebas dari kegelapannya. Cita-cita luhur, para leluhur dinarasikan menjadi garis-garis guru padesa yang dapat menuntun dan menyentuh ragam karakter sadar pada penyempurnaan diri, sebagai tujuan hidup sesungguhnya. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.

Facebook Comments

error: Content is protected !!