January 6, 2025
Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“MENGUATKAN KEYAKINAN DI DUNIA EDUKASI”

Oleh:  I Ketut Murdana (Jumat, 03 Januari 2025).

MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Rekaman peristiwa kebaikan dan keburukan, kesenangan dan kesusahan, kebahagiaan dan derita dan sejenisnya, merupakan pasangan melekat tak terpisahkan. Tetapi manusia memiliki akal budi dan kecerdasan rohani spiritual hadir meresapi, menengahi, menetralisasi dalam ragam dinamika, bergerak menjadi harmoni, lalu pada saatnya tumbuh mencapai “ketenangan”, yang menyenangkan lalu perlahan “damai membahagiakan”.

Dalam kontek dinamika itulah proses hidup dalam kehidupan yang tiada akhir. Proses hidup berakhir dengan batasan waktu yang “tersedia”. Kehidupan yang tiada akhir “memberi kesempatan” kepada setiap yang hidup untuk berproses guna menyempurnakan kembali kekurangan, kesalahan, dan dosa-dosa (sesuai teori hukum karma). Di ruang itulah proses kerja rohani yang bisa bergerak semakin cerdas, karena dibuka untuk berproses. Apabila sistem kerja ini tak terhubung, maka disequilibrium (ketidakseimbangan emosi terjadi), mengakibat los kontrol bervibrasi buruk.

Akibatnya bisa saja asik menyaksikan yang buruk-buruk saja, lalu dikuatkan napsu yang emosional. Realitas ini semakin menggelora, menjadi konsumsi publik nan viral. Kalau boleh menitip pesan dan ajakan marilah bersama-sama berhenti saling nyinyir, menjelek-jelekkan pemimpin bangsa yang terbatas dari kesempurnan.  Sadar terhadap keberadaan itu, berilah sedikit dukungan kebajikan penyempurna yang bisa meringankan tugas-tugasnya memimpin negara, bukan menambah beban tuntutan hawa napsu yang ingin dipuaskan terus.

Tumbuh dan berkembangnya kesadaran ini, merupakan esensi dasar pengetahuan untuk hidup meresapi kehidupan. Realitas kebenaran edukatif ini, tentu menghadapi ragam masalah dan ragam karakter serta ragam persepsi dan pandangan yang dianggap sebagai  “suatu kebenaran”, sekarang menjadi hak asasi yang menempatkan personalitas yang mempribadi menjadi kebenaran pribadi pula, ditengah-tengah kesadaran kolektif. Bahkan berlawanan arus pandang, karena terlihat dari sisi kekurangmampuan menyelesaikan, menuntaskan masalah di satu sisi.

Akibat dari semua itu, maka lahirlah pandangan “anti”, lalu berbuat dan berprilaku esensial merujuk nilai-nilai pemajuan humanisme. Keduanya sesungguhnya beretikad sama, dalam cara pandang dan sajian ejspresi yang berbeda bahkan berlawanan, yang menggaerahkan dinamika kompetitif, pencapai kemurnian nilai yang sesungguhnya. Kedua alur itu tentu secara alami kehidupan tetap juga meninggalkan masalah, yang mesti dilanjutkan oleh prilaku hidup selanjutnya dan demikian seterusnya. Sesuai kisah Siwa Purana, ketika Dewi Parwathi tidak mau lagi menginjak Dada Dewa Shiva akibat kemarahan yang tak terkendali, setelah membunuh asura.

Lalu tercipta masalah baru yang ditunjukkan oleh Dewa Shiva menyebabkan Dewi Parwathi takut dan inggin menghindar. Saat itu Dewa Shiva bersabda, ketika sudah seperti itu “dunia berarti telah selesai”. Merenungi wejangan suci yang menyentuh itu, lalu Dewi Parwathi bangkit semangatnya turun menyelesaikan masalah. Oleh karena itu betapa pentingnya memahami realitas nilai-nilai kehidupan yang tumbuh dan bergerak, dengan baik dan bijaksana, agar tak mudah menghakimi “realitas semesta” dengan persepsi-persepsi yang terbatas.

Memelihara, menghargai, menghormati dan mengkondisikan nilai agung kemuliaannya adalah menjadikan seseorang pemimpin agung yang layak disebut “Guru Wisesa”, berjuang terus meluhurkan kewajiban hingga meluhurkan martabat rakyat yang dipimpinnya, lalu jasa-jasanya dikenang sebagai Leluhur yang dimuliakan. Bukan menjadi pemimpin asura yang justru menghancurkan nilai-nilai kebajikan, yang selalu ingin dipadamkan. Walaupun itu tak akan pernah hancur sepenuhnya karena esensial nan vital meresapi seluruh insan hidup.

Era kini, semesta nampaknya menempatkan edukasi yang mesti dilihat dari realitas permukaan dan juga dibalik realitas kasat mata. Betapa cerdas-cerdasnya tokoh-tokoh bangsa dalam olah pikir, olah kata-kata menjadi “kebenaran politik” kebenaran dibelokkan hanya ingin mencapai kemenangan kekuasaan saja, yang sedang menjadi arus yang melanda dunia saat ini. Apakah hanya berkedok membangun bangsa, negara dan rakyat atau hanya tujuan memperkaya diri?. Tentu kebenaran atas ketokohannya telah menjawabnya. Minimal dalam hati sanubari yang tak dapat dibohongi, karena kesadaran nurani ada dan hidup disitu. Walaupun kesadaran itu tak dapat dihadirkan sebagai Guru.

Dan pada sisi yang lain mencoba mencari perlindungan hukum formal sebagai pendukung pembenaran. Bisa saja dibenarkan oleh hukum duniawi yang mudah diatur oleh arah kepentingan atas dukungan emosiaonal. Tetapi arah edukasi semesta tak bisa diatur, tetap mengarahkan pada kebenaran sejati adalah penyempurnaan diri mencapai kedamaian abadi. Karena tak searah pada aturan edukasi semesta itu, maka jawabannya pasti “kehancuran”. Paduan dan rujukan nilai itulah yang masih banyak dilupakan orang-orang pintar dan cerdas berpikir kekuasaan saat ini. Karena terlupakan, tujuanpun kesasar. Tantangan besar inilah tanggung jawab bersama memperbaiki karakter yang semestinya tumbuh sejalan dengan kecedasan intelektual

Dalam kontek inilah penguatan keyakinan diri, untuk mengisi diri dengan cara belajar pada reslitas sosial yang menjadi kebenaran dunia dengan ragam persepsi menuju kebenaran esensial yang bisa membahagiakan insan-insan hidup. Ketika Sila Ketuhanan dalam Panca Sila telah meresap menjadi prilaku dalam segala bidang yang mendistribusi mengaliri prilaku, mencerminkan sila-sila lainnya. Tidak mudah memang, bila diragukan. Tetapi apabila direnungi, dihayati, dan diyakini menginspirasi dan menjiwai prilaku, semua itu merefleksi, karena itu adalah nilai kejiwaan yang esensial.

Memang berat mewujudkan nilai-nilai kebenaran ini, ketika dipikirkan, terutama pikiran yang dijiwai napsu indrawi yang semakin menguat tanpa disadari. Saat seperti inilah pikiran mesti ditundukkan oleh edukasi semesta menjadikan jiwa-jiwa yang suci nan murni, hingga mampu mengendalikan mencapai kedamaian. Saat-saat seperti itulah kasih-Nya hadir melindungi dan menguatkan keyakinan dengan energi suci-Nya. Hingga masalah yang dianggap berat, menjadi ringan bagaikan Hanuman digambarkan mampu mengangkat gunung atas berkat Sri Rama. Itu artinya, masalah besar pasti terselesaikan ketika seseorang siap mengabdikan diri dengan benar dan tulus ikhlas sepenuh hati.

Ke arah itulah orientasi berpikir, bernalar, berprilaku ketika ingin selalu dan berjuang berkompetisi menjadi calon pemimpin apapun itu, di era kini, hingga meringankan beban rakyat dari kekisruhan peperangan hawa napsu dan ego yang saling saling menjegal. Menunjukkan telah berpisah dengan etika moralitas dan kesantunan sosial dari kehidupan, walaupun itu masih bersifat oknum, tetapi oknum yang telah melewati kompetisi dan seleksi yang tak ringan, lalu bersumpah dihadapan rakyat. Tetapi belum dialiri keberpihakan sifat-sifat nan suci bijaksana-Nya. Akibatnya menimbun masalah menggunung dan kabut gelap mengaburkan atmosfir kesegaran rohani.

Merasakan realitas ini berdiam diri bukanlah jawaban, tetapi berdoa dengan tulus ikhlas kepada Yang Maha Kuasa agar diberkati kemampuan untuk memperbaiki prilaku dan agar bisa memberi sedikit kebajikan darma kepada bangsa dan negara, sebagai jawaban awal memasuki tahun baru menjadi babak baru yang menyegarkan. Bukan hanya memuaskan diri dengan napsu dan ego yang tak pernah puas itu. Bagaikan ledakan mercon yang tak tentu arah bahkan memekakkan telinga. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.

Facebook Comments

error: Content is protected !!