February 17, 2025
Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“LUPA DAN MELUPAKAN”

Oleh:  I Ketut Murdana (Kemis, 23 Januari 2025).

MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). “Lupa” dan “melupakan” merupakan satu kata yang menujukkan sifat yang berbeda, antara sifat naturalnya, dan makna yang disengaja. Lupa bisa terjadi dengan sendirinya pada siapapun, misalnya “lupa” mengambil sesuatu sebelum berangkat kerja. Lupa menaruh kunci mobil lalu bingung mencarinya. Itu artinya lupa karena pikun yang natural. Oleh karena itu tetap melatih desiplin kerja sesuai kemampun, konon bisa menghambat kepikunan. Tetapi “melupakan” adalah upaya yang disengaja, terhadap “sesuatu” karena ada sesuatu dan lain hal, yang mempengaruhi.

Sesuatu yang mempengaruhi itu biasanya sesuatu yang kurang menyenangkan, menjengkelkan, mengerikan, meredupnya perhatian dan cinta kasih, irihati, dengki, penghinaan dan lain sebagainya. Banyak hal yang bisa terjadi dibalik upaya melupakan sesuatu itu. Ada sesuatu yang mesti tidak dilupakan yaitu makan, minum, ngomong, dan lain-lain. Tentu sudah diketahui bersama, apa yang akan terjadi ketika seseorang sudah lupa makan dan minum?.

Dalam kontek ini yang patut diingat sebagai insan yang bermartabat, “tidak melupakan kewajiban”. Memasuki ranah kewajiban hidup yang amat luas itu, tentu diawali dengan desiplin prilaku kebajikan yang teratur, sesuai keteraturan alam. Kewajiban ini selalu beriteraksi dengan orang lain dalam ruang terbatas lalu semakin meluas jangkauannya. Interaksi ini menghasilkan sentuhan dan singgungan, bisa menciptakan harmoni, bisa juga kontras, mengakibatkan ragam masalah.

Walaupun insan-insan duniawi sangat terbatas memahami, meresapi lalu berdesiplin, memasuki dan memaknai, mengendalikan keteraturan dan ketidak teraturan itu. Agar benar-benar bisa menyeimbangkan mencapai kegunaan dan menciptakan rasa damai. Berkenaan dengan hal itu, secara natural orang tua ibu, bapak, nenek kakek, guru dan seterusnya, mengantarkan nilai-nilai edukasi yang menyentuh ragam prilaku memberdayakan dan menyempurnakan sikap hidup perlahan-lahan.

Lalu dikuatkan oleh edukasi pemberdayaan dimasyarakat dan alam semesta. Langkah-langkah perdewasaan itu bagi sebagian masyarakat terutama di dunia timur, diawali penyertaan ritual simbolik disungguhkan oleh doa-doa suci menyampaikan  harapan-harapan yang mensejahterakan lahir dan bhatin. Berjuta-juta bangun artefak yang sesungguh dimanfaatkan untuk memuja sifat kuasa-Nya yang teratur dan tidak teratur, dilengkapi beragam ritual simbolik mencapai makna, yang melindungi, membahayakan dan seterusnya. Tatanan ritual simbolik nam magis, yang menjadi tradisi khas Nusantara, sekarang ingin diberantas dan dimusrikkan oleh sekelompok orang.

Realitas budaya ini sesungguhnya adalah untuk mengingatkan insan-insan duniawi bahwa dibalik realitas kasat mata, ada realitas tersembunyi “yang menyebabkan”. Mengingat semua itu, berarti menghubungkan diri pada “Sang Penyebab” yang tak nampak Itu. Kesadaran ini merefleksikan upaya “mengingat” lalu menyebut nama-Nya menjadi doa-doa penghubung dan terhubung agar memperoleh anugrah energi suci-Nya. Agar terhubung memerlukan penyamaan prekuensi gelombang rasa yang terbatas menuju tak terbatas.

Wujud-wujud anugrah diperoleh, sesuai kebutuhan dasar di dunia material dan yang mensejahterakan rohani, dianggap sebagai kemujuran. Kemujuran ini dimaknai sebagai “rasa kemenangan” dari perjuangan merefleksikan doa-doa itu dalam prilaku hidup sehari-hari. Hari-hari kemujuran atau kemenangan ini diperingati menjadi “Perngatan” atau hari besar yang terus diingat dan dikenang.

Merupakan kebalikan dari upaya melupakan. Melupakan merupakan upaya menghapus “kenangan yang dianggap buruk”. Walaupun sesuatu yang tak berkenan itu tak bisa terhapus begitu saja sepenuhnya. Tetapi bisa meredupkan dan melemahkan gradasi emosional yang menyertainya, sehingga tak berpengaruh lagi. Tetapi apabila tumbuh kesadaran bahwa semua pengalamam buruk itu adalah reaksi dari realitas kekuatan dualitas yang menantang dan terus menguji, maka resapan semua kenangan buruk itu akan terhapus perlahan, lalu berubah dengan sendirinya menjadi “energi pembangkit” kesadaran yang berguna, memenangkan penyempurnaan dan pemuliaan tujuan hidup itu sendiri.

Kesadaran akan gerak dualitas mengakibatkan kenangan buruk itu berubah menjadi kesatuan energi yang berguna, maka “kenangan yang dianggap buruk” itu berubah menjadi rasa syukur yang membahagiakan. Itu artinya orang bijaksana yang telah bersahabat dengan masalah. Oleh karena itu selalu dihadiri oleh masalah. Ketika sudah demikian “kebahagian yang mendamaikan itu” merupakan upaya penuh kesadaran memaknai serta merefleksikan ke ranah sosial dengan berbagai dinamikanya. Selanjutnya meresapinya sepenuhnya ke dalam diri sendiri (Jnana Buda Siwa).

Memahami sifat-sifat “lupa” dan “melupakan” itu, dapat menimbulkan kerugian. Apabila terus dipelihara dengan penguat rasa benci maka akan mengakibatkan disharmoni. Setiap ingat dengan masalah itu, menimbulkan atmosfir buruk yang menegangkan, akibatnya menjadi stress. Dalam Mahabharata dikisahkan bahwa Yudhistira dan Pandawa lainnya melupakan Sri Krishna setelah dinobatkan menjadi Putra Mahkota di Kerajaan Indraprastha, setelah Asthinapura dibagi dua.

Melihat kemewahan Kerajaan Indraprasta itu, membuat Duryodhana irihati, lalu menciptakan strategi licik untuk menguasai. Berdalih merayakan kebahagiaan penobatan itu, Duryodhana mengajak Yudhistira bermain judi dadu atas taktik jahat Sangkhuni. Akibat melupakan permintaan tuntunan kepada Sri Krishna, lalu lupa mengendalikan diri terhadap napsu judi yang semakin memanas, berambisi menang, hingga Kerajaan Indraprastha dan Dewi Drupadi kalah dalam sekejap berubah menjadi neraka taruhan judi. Akibatnya harus mengungsi ke dalam hutan merenungi penderitaan.

Realitas ini sesungguhnya sangat banyak terjadi pada kehidupan di masyarakat sehari-hari, karena “lupa” dan “melupakan”, Tuhan, orang tua, anak dan istri/suami, sahabat baik, kebajikan dharma, guru dan lain-lainnya. Akibat lupa diri terjerumus hawa napsu. Akhirnya hancur lebur, lalu datang terseok-seok penuh kebingungan. Ada yang sadar dalam penyesalannya, lalu datang ingin mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa mohon pengampunan dan tuntunan.

Entahlah sampai berapa lama proses edukasi spirit itu berlanjut untuk memperbaiki keadaan. Seperti itulah proses edukasi penebusan karma, atas kuasa-Nya. Kesadaran dan kesabaran berproses memerlukan kesungguhan, yang sering membosankan lalu menghilang. Entahlah dengan cara seperti itu bisa menghilangkan atau menyelesaikan masalah?. Semuanya ditentukan oleh hukum karma yang tak pernah kesasar menentukan bidikan adilnya. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.

Facebook Comments

error: Content is protected !!