
“AURA KASIH”
“NYEPI” (Kreatifitas Seni Menembus Misteri Keramaian).
Oleh: I Ketut Murdana (Senin, 24 Maret 2025).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Pengulangan dan penyikapan serta inovasi budaya menyegarkan semangat ritual, mentransformasi nilai-nilai kebajikan, merayakan hari suci “Nyepi” yang dihormati dunia. Semuanya itu berperan menyimak, mengkondisikan, meresapkan agar jiwa-jiwa insan duniawi semakin tergugah bangkit berubah menuju kebajikan, mencapai kebijaksanaan yang membahagiakan serta mendamaikan. Ditengah-tengah kekuasaan perpolitikan Asura dan Sengkhuni yang sedang mengaburkan dan menenggelamkan nilai-nilai kejujuran.
Walaupun tujuan merefleksikan sifat-sifaf dharma ini tak mudah, tetapi melalui spirit Satyam, Shivam dan Sundharam yang telah mengakar kuat, dalam kontek pemahaman personal dan memasyarakat merupakan potensi unggul, terus diberdayakan. Terus menerus bergerak memvibrasikan hingga menular meresapi insan-insan lainnya di seluruh dunia. Perjuangan ini menguatkan martabat bangsa di mata dunia
Dasar-dasar prilaku budaya spiritual ini merupakan proses panjang edukasi dan transformasi nilai-nilai yang tersembunyi lalu mengejawantah di dunia audio visual, diperkuat teknologi, menggetarkan rasa estetik meresapi makna spiritual menjiwai prilaku. Kekuatan ini menjadi identitas yang dikenal dunia. Mewujudkan “persembahan yang tulus ikhlas”. Dalam kontek inilah kesungguhan menjadi pertaruhan kualitas, yang dijiwai keikhlasan, larut luluh dalam persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wase, Tuhan Yang Maha Kuasa, Alam semesta dan masyarakat luas. Akibatnya peluang ekonomipun bergerak hidup.
Dukungan kompetisi dan semangat kejuaraan merupakan respon positif dan baik, sebagai pengayoman dari Guru Wisesa. Sesungguhnya di dalamnya terkandung spirit, untuk merangsang dan mendorong kreatifitas inovatif mencapai kualitas harapan, sesuai tuntutan jaman dalam ruang apresiasi lokal dan global. Walaupun sering kali dapat menimbulkan kepuasan dan ketidak puasan, karena itulah efek dari pada kejuaraan. Konfigurasi pemikiran itu hanyalah bersifat permukaan. Tetapi ciptaan dengan penuh semangat sebagai persembahan yang membahagiakan saat berproses sampai bulanan, hingga pertunjukan dilaksanakan, disambut riuh gemuruh apresiasi penonton. Sesungguhnya disitulah “rasa bahagia yang tak ternilai bagi senimannya” maupun kelompok penyajinya. Menyatukan persepsi dan toleransi dalam ruang kerja sama gotong royong yang baik. Memahami realitas ini, seni mengandung makna “bisa dinilai” dan “tak ternilai”.
Bisa atau dapat dinilai karena terindrawi memasuki selera, menggugah pengalaman estetik masyarakat penilainya. Kemudian meresapi jiwa-jiwa orang lain, menjadi subyek pengamatan dan aneka persepsi yang mempribadi. Semuanya itu menyangkut kedalaman wawasan dan kualitas sugesti, emphaty dan symphatinya. Seni tak ternilai itu menempatkan bahwa seni lahir dari pengalaman estetik, mengekspresikan ragam wujud dan rasa yang amat dalam (kualitatif nan pra predikatif), hingga abadi dan bebas nilai. Tetapi penciptaan wujud saat itu telah terjadi. Bebas nilai ini melingkupi persepsi-persepsi subyek yang selalu lentur, membuka ruang apresiasi yang berlapis-lapis.
Dalam kontek inilah seniman atau kreator telah memuliakan dirinya, membuka, dan menyediakan ruang dialog, merajut nilai-nilai dan mengkomunikasikan serta menyelaraskan. Dalam kontek melibatkan ranah menyukai dan kurang atau tak menyenangi. Kemudian menyelaraskan menjadi apresiasi yang menggugah kreasi-kreasi inovasi hingga seni terus hidup menyempurnakan dirinya, terutama senimannya. Ketika sudah demikian seniman melalui karya-karya persembahannya, menyempurnakan diri mencapai “penyatuan” (Yoga). Ketika sudah demikian esensi sesungguhnya “telah mencapai”, hingga menjadi “hening sepi” dalam rasa syukur membahagiakan.
Apabila persembahan itu dijiwai semangat rajasika dan tamasika, lepas dan los sattwam, maka nilai berubah terbalik dan turun menurunkan harkat martabat penciptan seni budaya itu sendiri (dis value). Menciptakan sifat-sifat Bhuta Kala seram mengerikan, membutakan hati nurani, menguasai jiwa menjadi napsu yang tak terkendali. Akibatnya menimbulkan hal-hal buruk yang tak diinginkan. Tentu unsur dualitas kebajikan yang mengangkat derajat moralitas sifat-sifat asura yang merongrong menghancurkan.
Persoalan inilah mesti diwaspadai dan diselaraskan dengan penuh kebijaksanaan (somya), yang menjiwai setiap langkah kehidupan. Melalui laksana sungguh-sungguh “Catur Brata Penyepian”. Agar tak menimbulkan hal yang tak diinginkan atau ditunggangi hal-hal negatif pemburukan lainnya. Sungguh-sungguh ber-“puasa” mengendalikan napsu jasmani mencapai kesucian rohani. Bukan mengubahnya menjadi “puas”, memuaskan napsu ego yang memabukkan. Oleh karena itu kebersamaan mengusung budaya, membangun kesucian rohani mencapai kebahagiaan dan kedamaian bersama adalah tujuan sesungguhnya, hingga dihormati dunia.
Seni budaya Bali yang beridentitas inilah yang bisa mengagumkan dunia. Tentu dampak positif dari semua itu dapat dirasakan manfaatnya oleh semua pihak. Dua persoalan besar inilah selalu bergerak dinamis, mesti menjadi perhatian dan penyelarasan serius saat ini. Penyelarasan serius ini menempatkan pemahaman pada kondisi riil saat ini, bahwa dominasi sifat-sifat asura yang sedang menguasai.
Oleh karena itu “menyepi dan sepi” memiliki peran penting bersama, untuk merenungi apa yang sudah, dan sedang terjadi, serta upaya strategis, melewati atau “menembus keramaian gerak hawa napsu indriya-indriya, dihinggapu beraneka misteri”. Ada yang terjangkau dan tak terjangkau seperti peristiwa alam yang akhir-akhir ini menimbulkan bermacam-macam bencana. Apakah renungan dalam “Sepi” dan upaya insan-insan duniawi tertuju kepada persoalan itu, lalu berdoa bersama untuk kedamaian bersama. Tentu semua berpulang pada kesadaran subyek individu masing-masing memerankan diri dalam memaknai tujuan hidup di dunia ini. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments