Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“MENINGGALKAN PASTI TERTINGGAL”

Oleh: I Ketut Murdana (Kemis : 2 Maret 2023)

BADUNG (CAHAYAMASNEWS.COM). Banyak orang di Zaman Kaliyuga ini telah meninggalkan jalan dharma kebajikan, berbelok bahkan berbalik mengikuti jalan para asura. Semua itu terjadi akibat ketidaksadaran (Acettana) terhadap tujuan hidup sejati, yaitu mengenal dirinya sendiri sebagai jiwa yang suci (atman). Ketidaksadaran terhadap kebenaran itu berakibat amat mudah dikuasai oleh sifat-sifat asura gelap itu sendiri. Karena menjanjikan dan menyediakan segala selera kenikmatan nafsu duniawi.

Demikian cepatnya sifat-sifat asura itu menggulung “keyakinan” kepada Tuhan, hingga berubah menjadi beribu-ribu alasan pembenaran, hingga raga menjadi “tumbuhan liar” pohon selera, napsu dan ego yang menakutkan, menjadi “alas angker” hutan lebat penuh misteri kegaiban. Artinya nasehat kebajikan apapun wujudnya sebagai “pencerahan” amat sulit menerobos kegelapan misteri itu sendiri.

Bagaikan kisah Duryodhana, Guru Drona, Kripacarya, Bhagawan Bisma, Sri Krishna, Perdana Menteri Widura, Karna dan lain-lainnya nasehat kebenarannya tidak meresap sedikitpun. Kecuali Sangkhuni yang selalu memprokasi dan mencarikan jalan dengan kecerdikan liciknya.

Menyimak dan memaknai realitas ini, ada tiga hal penting yang patut disadari:

  1. Dura Dharsana yaitu: belajar melihat “masalah” yang ada, tentu ada “penyebab masalah” yang jauh sebelumnya sudah terjadi dan ada “Penyebab Mutlak” nan hakiki yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Kemutlakan inilah yang ingin dibongkar dan dihancurkan para asura, yang mengakibatkan masalah-masalah besar dan kecul di alam semesta. Ketika dilihat dari sisi edukasi, Sang Penciptalah yang mengenalkan kebenaran itu kepada seluruh ciptaan-Nya agar paham dan berlaksana atas hukum kebenaran itu sendiri (Rtham).
  2. Dura Srawana yaitu: belajar mendengar “sesuatu” penyebab realitas kebenaran yang jauh dibalik realitas kini. Belajar seperti ini, mesti diawali dengan brata pengendalian diri yang baik dan desiplin tinggi yang disebut “Brahma Sadhana”, hingga pada saatnya mampu mendengarkan suara suci semesta dalam hati nurani sendiri.
  3. Duratmaka, yaitu belajar mengenal sifat-sifat kebajikan dharma dan adharma di “dalam realitas” dan “di luar realitas” itu sendiri, hingga saatnya mampu mengenal tujuan dharma kebajikan dan sifat-sifat asura adharma yang selalu menentang dharma kebajikan, untuk menguasai diri manusia dan alam semesta ini. Kemudian mampu menempatkan kewajiban hidup dalam perjuangan di jalan dharma sebagai pelayanan yang tulus ikhlas.

Dalam tattwa disebut “dwahita” mencapai “adhwahita”.

Ketiga struktur pengetahuan itu memiliki rahasianya masing-masing, ketika berhadapan dengan ragam situasi masalah yang muncul dalam diri sendiri dan juga masalah yang harus dihadapi dalam lingkungan sosial di luar diri. Saat itulah “keraguan” muncul “bagaikan kebenaran” yang bisa membelokkan tujuan, hingga sebagian orang ingin lari dari masalah. Bahkan gugur tenggelam dalam kegelapan. Walaupun mereka lari, tetapi tidak akan bisa menghindar dari “hutang masalah” yang harus diselesaikan sendiri melalui karma baik saat kehidupan ini.

Saat-saat seperti inilah pintu atau jalan dharma banyak ditinggalkan. Bagaikan keraguan Arjuna saat berhadapan dengan kakek, guru serta saudara-saudaranya, melupakan dirinya (jati diri=kewajiban yang membebaskan).

Saat itu Sri Krishna dengan penuh kasih menyadarkan Arjuna, yang sedang berada di medan perang, tentang kebenaran hidupĀ  “berada di jalan dharma”. Saat itulah pilihan harus terjadi, pilihan sebagai seorang “kesatria dharma” atau “sebagai pengecut”.

Ketiga struktur kebenaran pengetahuan tersebut dibuktikan oleh Sri Krishna mengakibatkan Arjuna siap mengangkat busur dan panah memasuki medan Kurusetra.

Saat seperti inilah peran Sri Krishna sebagai “Sad Guru”, amat sentral. Memanggil Pandawa, mendidik, menuntun, membantu memecahkan masalah, membangun istana, menjadi duta, menjadi Kusir Kereta Perang sebagai penyelamat dan seterusnya.

Walaupun akibat dari semua itu Sri Krishna di kutuk oleh Dewi Gandari, sebagai seorang Ibu amat sedih akibat seluruh putra-putranya terbunuh akibat perang.

Tetapi Sri Krishna tersenyum jernih atas kutukan itu. Karena itulah hukum dunia sebagai pahala yang harus terjadi atas kewajiban itu sendiri.

Memetik hikmah dan makna dibalik persoalan itu bahwa, seseorang yang selalu berjalan di jalan dharma dan tertuntun oleh Sang Penegak Dharma pasti mencapai kemenangan, karena dharma itu adalah pancaran dari kemuntlakan nan hakiki itu sendiri. Berbakti dan menjadi pelayan-Nya adalah kemuliaan hidup. Akibat tervibrasi kemulian-Nya

Bukan pergi jauh mengurung diri dalam pengaruh kuasa tamasika kemalasan, dan pasti akan tertinggal oleh putaran waktu kebenaran dharma itu sendiri. Akibatnya hidup ditinggal dharma. *** Semoga menjadi renungan yang cerdas dan arif bijaksana, Rahayu.

Facebook Comments