Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“Dunia Berguncang Akibat Kebutaan Kasih Sayang Ibu”

Oleh:  I Ketut Murdana (Senin:  6 Maret 2023).

BADUNG (CAHAYAMASNEWS.COM). Kebahagiaan dunia akan terjadi dengan sendirinya, bila seorang wanita atau Ibu selalu dihormati dan dimuliakan. Praktek pengejawantahan kebenaran ini menjadi riil di dunia, hingga kota besar dihormati sebagai Ibu Kota. Juga dihormati sebagai hari Ibu. Di Bali juga ada “Pura Ibu” yaitu tempat pemujaan keluarga besar dari golongan tertentu. Barangkali karena kehormatan itu, sekarang Ibu-Ibu banyak tampil melakukan pekerjaan laki-laki. Bermain gambelan, Dalang Wayang Kulit, tukang ojek, tukang parkir, tinju, gulat dan lain sebagainya. Semua pekerjaan ini pada zaman dahulu adalah kegiatan laki-laki. Tumbuh dan berkembang realitas kebenaran  ini barangkali sebagai refleksi dari isme kesetaraan jender, yang berkembang di dunia.

Secara psikologis ibu memiliki tingkat kasih sayang yang lebih tinggi dari laki atau pria. Refleksi kebenaran ini, bila seorang anak yang sedang sakit atau mengalami kesulitan tertentu, secara sontak menyebut Ibuuuuu..ibuuuuu….ibuuuu. Demikian pula kisah Sri Ganesha saat kapak Bhagawan Parashu Rama, memetahkan gading sebelah kirinya dan menyebakan tersungkur di tanah. Sontak Sri Ganesha menyebut Ibuuuu.

Semua itu terjadi akibat kemarahan Bhagawan Parashu Rama, yang dihalangi oleh Sri Ganesha untuk menghadap Mahadewa yang sedang bertapa dengan Dewi Parwathi di Goa rahasia di Kailasha. Akhirnya Dewi Parwathi keluar dari pertapaannya, lalu menyelamatkan Sri Ganesha dari bahaya.

Berorientasi dari kata “Ibu” berarti mengandung benih-benih (samskara), dalam arti terbatas sebagai bhuana alit dalam diri manusia dan bhuana Agung sebagai Ibu di alam semesta, melindungi semua ciptaan-Nya.

Melalui esensi keberadaan itu, Ibu adalah kekuatan kasih sayang yang memberi hidup, memelihara dan melindungi anak-anaknya. Oleh karena esensi kekuatan yang terjadi itu, seorang gadis wanita setelah berumah tangga dan memiliki keturunan di sebut “Ibu”, alam semesta disebut Prakerthi sebagai pemelihara dan Pelindung ciptaan-Nya.

Jadi karena tugas dan kewajiban yang telah terlaksanalah yang melahir atau menciptakan “nama baru”. Demikian pula seorang bhakta atau sadhaka yang telah melakukan “standar edukasi spiritual tertentu” dan “pengabdian tulus nan suci”, bisa memperoleh “nama suci”, yang menguatkan, kmembuka dan menyucikan kewajiban itu sendiri.

Kekuatan kasih sayang Ibu, bukan bisa berjalan mulus dengan sendirinya. Tetapi proses pendewasaannya pasti harus melewati ujian-ujian “nyata” maupun “rahasia”, hingga benar-benar mencapai puncak kesejatiannya.

Petunjuk suci lewat kisah Purana, Dewi Parwathi sangat berbahagia di Kailasa, karena telah berhasil membunuh dan menyadarkan Raja Asura Arunasura, yang ingin menghidupkan kembali putrinya yang sudah meninggal. Ambisi ingin monolak takdir inilah diperjuangkan hingga, dia “tidak mempercayai kebenaran Tuhan”. Lalu mempercayai  “Kekuatan”, hingga yang dipuja adalah “kekuatan”.

Saat itu Sri Ganesha merasa ada sesuatu lagi yang mengganggu kedamaian Surgawi (Kailasha), lalu perasaan ini disampaikan kepada Dewi Parwathi dan Dewa Shiva. Dewa Shiva menjawab bahwa putra-Nya Andak akan datang dan mau tinggal dekat dengan Dewi Parwathi di Kailasha, dengan permasalahannya. Beberapa saat kemudian datanglah Andak, menemuai Dewi Parwathi, menyampaikan kerinduannya kepada Ibu, karena telah lama berpisah dan tinggal di alam asura dibawah tuntunan Rsi Usana.

Saat itu Dia ingin tinggal di Kailasa, dan saat itu pula menyampaikan keluh kesah penderitaannya; bahwa istri dan anak-anaknya telah meninggal, hingga Dia hidup kesepian. Saat itulah Dia memohon kepada Dewi Mahakali untuk menghidupkan kembali istri dan anak-anaknya dengan menyerahkan abu-abu jenasah mereka itu. Sesungguhnya itu adalah abu jenasah para asura putra-putra Dewi Dithi yang telah dibunuh oleh Dewi Mahakali. Andak dimanfaatkan oleh Dewi Dithi untuk melampiaskan balas dendam agar bisa memisahkan Dewa Shiva dan Dewi Parwathi.

Akibat terbujuk rayuan dan belas kasihan Dewi Parwathi (Mahakali), menyentuh abu dalam kendi yang dipersembahkan Andak. Sesungguhnya saat itu Dewa Shiva sudah memberi singnyal kepada Dewi Parwathi agar waspada. Tetapi signyal kebenaran itu terabaikan. Akibatnya kekuatan Suci Yang Serba Maha itu digunakan untuk menghidupkan para Asura itu kembali (Taraka Asura, Mahisasura, Mala dan Mani, Sumba dan Nisumbha, Banasura dan seterusnya). Setelah itu Andak menyerang Ibunya dengan kekuatannya. Saat itulah Dewi Parwathi sadar akan tipu muslihat Andak memainkan kasih sayang Ibunya. Kemudian para asura lainnya satu persatu menyerang Dewi Mahakali.

Demikian pula Dewi Parwathi harus membayar mahal kembali untuk, membebaskan serangan para asura terhadap kedamaian surga dan kekacauan alam semesta ini. Akibat niat balas dendam Dewi Asura Dithi, yang mempengaruhi dan menguasai pikiran Andak. Akhirnya Dewi Mahakali mampu membinasakan seluruh asura hingga Surga (Kailasha tenang dan damai kembali).

 

Menyimak kisah ini dari sudut pandang esensi kehidupan manusia:

Pertama: Dewi Parwathipun bisa tersentuh dan dikuasai ilusi maya, walaupun kesadaran-Nya kembali memerlukan pengorbanan yang besar. Apalagi sebagai manusia biasa yang amat terbatas amat mudah dikuasai kegelapan. Oleh karena itu “tuntunan ajaran suci” amat diperlukan.

Kedua: kisah ini mentraformasikan serta menjabarkan sifat kemaha kuasaan-Nya, agar manusia didunia teredukasi dan perlahan meyakini kebenaran sifat kemahakuasaan-Nya. Lalu sadar melakukan kebajikan dan pelayan terhadap dharma (sewanam). Mengenal dan menghindari pengaruh sifaf-sifat asura sangat diperlukan, sebagai refleksi mewujudkan kecerdasan spiritual.

Ketiga: waspadalah terhadap signyal suci Ilahi yang selalu memberi peringatan agar “ingat” terhadap sesuatu yang akan dilakukan serta dampak yang akan ditimbulkan. Keempat: apabila seseorang ingin berbuat sesuatu untuk kemajuan diri yang sejati, harus siap menghadapi resiko yang selalu timbul, sebagai akibat dari perbuatan itu sendiri. Lalu berjuanglah hingga akhir hayat, karena itulah esensi kehidupan.

Tentu masih banyak makna yang patut disimak dari persoalan tersebut di atas yang akan terus berlanjut sepanjang hayat, merupakan sifat naturalistik alam semesta. *** Semoga menjadi renungan dan refleksi. Rahayu.

Facebook Comments