“AURA KASIH”
“LANDEP”
Oleh: I Ketut Murdana (Jumat, 26 Juli 2024).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Landep berarti tajam. Segala peralatan yang tajam mempermudah mengerjakan sesuatu. Agar benda-benda atau peralatan bisa tajam, perlu diasah dan apabila kelewat tumpul atau “pungak” tentu tidak mudah di asah maka perlu dibawa ke “Pande Besi” untuk disepuh kembali. Ketumpulan atau kerusakan benda-benda peralatan mudah disaksikan saat bekerja, akibatnya harus diasah atau diperbaiki agar bis bekerja lagi.
Tetapi apabila pikiran dan kecerdasannya sudah tumpul tentu sangat susah mengembalikannya. Persoalan inilah yang mengakibatkan kebuntuan berpikir dan bernalar, mengakibatkan stress. Saat-saat kebuntuan (Cintya) seperti itulah mengakibatkan dunia seolah-olah selebar daun keladi, mengakibat orang-orang banyak yang putus asa dan putus harapan, lalu mengambil jalan pintas, menggali dosa baru yang menenggelamkan, serta menurunkan harkat hidupnya.
Dalam Wira Carita Mahabharata dikisahkan tentang persahabatan antara Pandawa denga Sri Krishna. Pada suatu saat Radha bertanya kepada Sri Krishna, mengapa engkau membiarkan Yudhistira dan saudara-saudaranya terlibat perjudian dengan Duryodhana, hingga mengakibatkan Dewi Drupadi ditelanjangi di depan persidangan. Apa arti wujud persahabatan yang membiarkan saudaranya terjerumus perjudian seperti itu Krishna, demikian pertanyaan Radha. Pertanyaan mu sangat bagus Radha, saat itu Pandawa sedang menikmati “kesenangannya” menjadi raja lalu melakukan sesuatu atas dasar kesenangannya. Saat itu “mereka melupakan Aku” sahabatnya, hingga “jalan untuk memberi pertimbanganpun tertutup”. Oleh karena itu Aku tak bertanggung jawab atas perbuatan itu.
Dalam kontek ini Landep dapat dimaknai, agar umat manusia selalu sadar, ingat dan selalu memuliakan Tuhan dalam keadaan apapun baik suka maupun duka. Selanjutnya tidak melupakan Tuhan dan Guru saat-saat menikmati kesenangan, akibatnya sangat mudah tergoda hawa napsu yang menghancurkan. Walaupun kejadian demi kejadian telah disaksikan, tetapi belum membuat manusia jera melakukan. Itu artinya jiwa-jiwa yang gelap tumpul kecerdasan spiritualnya
Landep dalam kontek ini mesti dipahami sebagai hubungan yang berlanjut dari keterbatasan berpikir (Cintya) dan ketidak terbatasan berpikir (Acintya) yang mesti diperjuangkan, diawali oleh “ingat” lalu memuliakan dan memuja-Nya agar selalu “terhubung”. Menghubungkan ini memerlukan “pengetahuan” atau “cara” untuk bisa terhubung. Saat itulah diperlukan Guru yang berwenang menuntun agar bisa terhubung dan merasakan esensi kebenaran dari hubungan itu. Kebenaran realitas rasa esensial inilah “pembebasan” dari yang kurang cerdas menjadi lebih cerdas. Kesadaran memasuki ruang proses inilah “melandepkan”, hingga perlu dirayakan untuk selalu mengingat dan memuliakan.
Ketika esensi rasa dari kebenaran itu dapat dirasakan, maka semua unsur-unsur dari logika berpikir bisa tunduk. Seperti itulah gambaran sekilas tentang isi Bhagawadgita, menundukkan pikiran yang selalu liar, agar mampu memasuki kebenaran hati nurani agar terhubung dan tertuntun Kasih-Nya. Agar benar-benar berada di jalan dharma sejati.
Agar mampu menundukkan pikiran, memasuki esensi rasa kebenaran yang amat mempribadi inilah proses memperhalus atau juga di sebut mempertajam kepekaan rasa (“Landep”), mampu merasakan perlahan regulasi personal kosmologis. Artinya, rasa kejiwaan yang selalu hidup dan terhubung dengan kontek kehidupan semesta dalam suasana hati keterbatasannya.
Dalam ajaran Weda disebutkan Dura Darsana (melihat yang jauh) Dura Srawana (mendengar yang jauh) dan Duratmaka (mengenal yang mana sahabat dan mana yang musuh, sebagai kekuatan dualitas yang tak bisa dihindari). Suasana dan regulasi pengetahuan itu digambarkan sebagai Dewa Ganesha yang bertelinga lebar. Berperut buncit, melambangkan ketenangan, kebesaran wadah dan kesucian jiwa yang siap mewadahi kewajiban “pelayanan” kepada-Nya. Seperti itulah wujud ketajaman pengetahuan dalam pelayanan kepada-Nya. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments