“AURA KASIH”
TEORI-TEORI KEBAJIKAN
Oleh: I Ketut Murdana (Senin, 24 Nopember 2024).
MANGUPURA (CAHAYAMASNEWS.COM). Berpikir, berkata dan berbuat baik dan benar adalah intisari nilai kehidupan yang disebut Tri Kaya Parisudha, “demikianlah teorinya”. Semuanya itu diajarkan disuarakan, dibahas, dikaji, berharap dipatuhi dan seterusnya. Kini teori kebajikan itu masih harus berjuang menembus gunung misteri gelap gulita. Siapa yang mesti memperjuangkan?, tiada lain adalah “jiwa-jiwa orang yang tersentuh, terpanggil untuk melakukan”. Karena disitulah “sulutan internal energi suci yang membangkitkan keikhlasan” sebagai “dasar kesadaran yang menyadarkan”. Ketika itu terjadi, merupakan wujud kehadiran sifat-kuasa-Nya dalam diri sendiri
Kesadaran diri yang bangkit dan berkembang itu, sesungguhnya salah satunya adalah agar mampu menghadapi aura gelap jaman ini, yang ditaburi awan gelap dari kata-kata dan pernyataan oknum “para tokoh yang ditokohkan”, entahlah tokoh beneran atau tokoh-tokohan. Demikian pula menghadapi masalah internal dan eksternal lainnya diranah sosial di era persaingan global, di segala bidang ini. Dalam kontek inilah teori kebajikan bisa menjadi sinar pencerah, menguatkan keyakinan menembus misteri, mengenal diri melalui kewajiban
Sentuhan energi suci yang disebut panggilan jiwa itu, sesungguhnya mengisi dan menghidupkan teori-teori kebajikan itu, pada satu sisi diterima melalui pikiran rasional dan disisi lain dirasakan di dalam jiwa dan menjiwai seluruh aspek kehidupan. Teori-teori kebenaran dan kebajikan di atas dapat dipakai memaknai dan meresapi prilaku mereka itu di ranah publik ruang sosial. Artinya “kesadaran” yang direfleksikan oleh teori kebajikan itu, mampu mengantisipasi vibrasi buruk, agar tidak mempengaruhi suasa kejiwaan yang damai dan toleran, hingga bisa melihat dan membedakan mana yang “benar-benar murni” dan mana yang “berkedok pemurnian”.
Ketidak puasan pikiran, napsu, keinginan, selera yang didorong oleh ego kekuasaan, mengatas namakan rakyat, terlalu bebas mengekspresikan kata-kata kurang baik, los tata krama dan sopan santun, bagi oknum tokoh-tokoh bangsa, akan berakibat besar bagi rakyat. Ditengah-tengah negara berketuhanan, yang melindungi semua agama dan keyakinannya. Realitas menunjukkan banyak tokoh-tokoh yang sibuk nyinyir, membuli, menghina, berkata kasar, berkedok kritik kepada petinggi negara di depan rakyat.
Tentu hal itu merupakan terbukanya pintu sifat-sifat asura yang telah lama menunggu kesempatan untuk menyerang, menguasai dan “menghancurkan”. Dinamika ini amat sulit dicerna logika apalagi hukum positif, karena dia adalah sifat dengan segala kecerdikannya, secara kuantitatif memformulasi kemenangan. Apakah yang seratus baik dan benar seperti apa yang digambarkan dalam Mahabharata. Tetapi secara kuantitaf suara hak asasi mereka menang.
Dibalik semua fenomena ini, barangkali juga tanpa disadari, “sifat-sifat keilahian” yang hadir, membongkar, menyadarkan seluruh umat manusia melalui pergulatan kedua sifat, baik dan buruk, dewata dan asura yang menguasai jiwa-jiwa manusia, bergelora dipanggung politik perebutan kekuasaan dengan berbagai topengnya. Tentu semuanya itu pasti akan berubah dan berakhir…entah apa wujud akhirnya….hanya doa-doa kebajikan salah satu jawaban sebagai makhluk religious. Kemenangan kuantatif sesungguhnya menyembunyikan dan sifat-sifat asura menjadi semakin nyaman berkiprah. Pada sisi yang lain ingin menjadi “penentu arah kebajikan versinya”
Kemudian sifat-sifat asura itu memasuki jiwa-jiwa yang diserang lalu mungakibatkan marah, benci, dendam, dan seterusnya. Walaupun serangan psikologis, itu dapat ditahan, dikondisikan dengan “senyuman”pahit nan masem, lalu secara tersembunyi bergerak menjadi arus balik nyusun strategi untuk menyerang kembali. Entahlah sementara disembunyikan kliak kliuk bagaikan jalannya ular, lalu banting sentir menambrak sana sini, berakibat meluluh lantakkan membuat atmosfir stabilitas keamanan dan kenyaman hidup berbangsa menjadi terganggu. Memerlukan ketegasan bagi penegak hukum, yang mesti berpihak sepenuhnya kepada keadilan.
Walaupun belum sepenuhnya tercipta, tetapi bila semua rakyat teredukasi baik dan benar terus menerus, maka perubahan ke arah kebaikan pasti tercapai. Oleh karena itu, menuntut keadilan mesti diawali berbuat adil dalam segala lini kehidupan. Itu artinya praktik jual beli kasus, mesti diakhiri dengan kesadaran melaksanakan pada tugas dan kewajiban, yang diemban masing-masing.
Masalah sulit dan gelap inilah yang sedang dipikul menjadi beban dipundak insan-insan duniawi saat ini, “memerlukan pembebasan”. Sadar pada realitas ini dan kuat meyakinkan diri menembus beban kegelapan ini, bhakti yang suci adalah jawabannya. Karena semua teori-teori kebajikan menjadi bersatu padu di dalamnya. *** Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi, Rahayu.
Facebook Comments