Seni dan Budaya

“AURA KASIH”

“KESADARAN TERBATAS, MENUJU TAK TERBATAS”

Oleh:  I Ketut Murdana (Jumat:  31 Maret 2023).

BADUNG (CAHAYAMASNEWS.COM). Tidak mudah memang kebajikan dharma itu diwujudkan di Zaman Kaliyuga seperti sekarang ini. Demikianlah persepsi-persepsi dan kerja olah pikir yang terbelenggu oleh batas-batas yang amat terbatas. Oleh karena belengguan realitas kesadaran ini, para suci mengajarkan umat manusia agar mampu menembus sekat-sekat yang membatasi itu. Agar manusia bisa melihat dan menyadari dirinya sendiri dan alam semesta luas di luar dirinya yang tak terbatas. Maka yang tak terbatas itu disebut tak terpikirkan (Acintya). Artinya pikiran itu terbatas (Cintya) mesti menembus dan larut dalam upaya membangun dan menguatkan keyakinan lalu merefleksikan “pengalaman kebenaran” itu dalam kehidupan masyarakat luas, hingga menjadi “penyegar” kehidupan jasmani dan rohani.

Karena secara naturalistik manusia selalu membutuhkan penyegaran dalam ruang terbatas yang membatasi. Lalu terbuka kesegaran rohaninya, dari yang terbatas menuju yang tak terbatas. Dalam konteks ini pikiran mesti terus berupaya menembus batas-batas keterkungkungan dirinya sendiri, melalui pengetahuan material dan spiritual.

Dari masa ke masa, dari jaman ke jaman kebenaran ini telah dilakukan oleh nenek moyang dan leluhur kita. Menjadi warisan budaya menakjubkan. Orang banyak menyebut sebagai hadirnya tangan-tangan Tuhan dalam setiap sentuhan kreatifnya. Itu artinya dalam kerja yang sungguh-sungguh terjadi paduan antara enerji material dengan enerji suci. Orang Bali menyebutkan kehadiran “taksu” menyertai setiap karyanya.

Stagnan terhadap belengguan simbolik dan realitas “harapan penyempurnaan”, masih menjadi misteri besar, dalam situasi kini, sekaligus awang-awang multitapsir, dogma-dogma bahkan mistik serta panatisme berlebihan yang seringkali mengagungkan diri, merendahkan yang lainnya. Persoalan ini kini kian memuncak, didongkrak oleh strategi kepentingan tertentu, didukung politik media yang amat canggih hingga bisa mengubah persepsi, isu, kejanggalan menjadi “seolah benar”. Konstruksi realitas sosial yang dianggap kebenaran inilah yang membingungkan, oleh karenanya taburan awan gelap ini patut diwaspadai, agar tidak terjebak kultur asura hoax. Kultur ini menguasai atmosfir langit kebajikan saat ini.

Salah satu nasehat penguat yang dikisahkan dalam Cerita Ramayana, saat-saat bala tentara kera Sri Rama kehabisan akal, untuk menyebrang ke Kerajaan Alengka untuk menyelamatkan Dewi Sitha. Selama tiga hari tiga malam Sri Rama bertapa dihadapan Lingga Yoni. Dewa laut tidak hadir untuk membantu. Saat itulah Sri Rama marah lalu mengeluarkan panah saktinya, ingin mengeringkan lautan. Saat itu Dewa Baruna hadir bersujud dan mohon ampun kepada Sri Rama, agar tidak mengeringkan lautan karena itu melanggar hukum alam.

Saat itu pula Dewa Baruna membuka rahasia prajuritnya yaitu putra Bhagawan Wiswakarma yang bernama Nal, pernag memperoleh kutuk bahwa apapun yang di buang ke laut tidak akan pernah tenggelam. Menyadari kebenaran ini Nal siap mengabdi Sri Rama, mewujudkan jembatan batu dan dibantu oleh Dewa Baruna (Dewa Penguasa Laut). Akhirnya jembatan Situbanda berhasil diwujudkan.

Memaknai tattwa ini, bahwa saat-saat pikiran itu terbelenggu keterbatasannya, maka gunakanlah kesadaran rohani menghubungkan diri dengan sumbernya yang tak terbatas, memohon perlindungan. Ketika sudah demikian esensinya lebur menjadi satu kesatuan, itulah keberhasilan atau kemenangan.

Kabut gelap yang membendung kebajikan inilah, bayangan masalahnya, hingga pikiran memandangnya sebagai kesulitan untuk menembusnya. Apabila pikiran itu diarahkan untuk membangun keyakinan, maka energinya akan tersalur menjadi kerja nyata. Saat seperti itulah “yang tak terpikirkan” itu hadir meresap (Wibhu Sakti) menjadi pengalaman menakjubkan. *** Semoga menjadi renungan dan refleksi, Rahayu.

Facebook Comments